< 1 >
Read!
this is the first my blog
< 2 >
Al-Islami
I love so much
< 3 >
Al-Islami
In the Name of ALLAH, Who has created man from a clot (a piece of thick coagulated blood).
< 4 >
Al-Islami
In the Name of ALLAH, Who has created man from a clot (a piece of thick coagulated blood).

Rabu, 04 Maret 2015

ARTI SEBUAH NAMA DALAM ISLAM (ujian praktikum)

APA SIH ARTI SEBUAH NAMA : Kapan Waktu Memberi Nama Anak, Nama-nama yang Disunnahkan, Nama-nama yang Dimakruhkan & Diharamkan Dalam Islam
Suatu kenyataan yang memprihatinkan bahwa sebagian kaum muslimin diliputi perasaan minder dan malu untuk memberi nama anaknya dengan nama Islami.
Sebagian lagi masih mempunyai semangat keislaman yang cukup sehingga memberi nama anaknya dengan nama yang sudah ‘dianggap’ Islami. Namun disayangkan, pada hakikatnya nama mereka belum sesuai dengan adab Islami. Contohnya nama “ ‘Abdurrasul Syihab Saifullah” atau “Fathin Nadiyah Rahmatullah” yang mungkin dianggap sebagai nama Islami yang bagus dan indah, tetapi ternyata nama ini bermasalah, dengan beberapa kekeliruan di dalamnya.
Sesungguhnya, metode penamaan anak tidak cukup hanya didasari perasaan subyektif bahwa nama itu indah, baik atau bagus semata, tetapi yang benar adalah nama yang sesuai dengan tuntunan syari’at.
Berikut ini etika dan hukum-hukum seputar pemberian nama yang sebagian besar pembahasannya kami sarikan dari Kitab “Tasmiyatul Maulud” karya Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah. Semoga bermanfaat bagi diri kami pribadi dan juga kaum muslimin.
PENDAHULUAN
Sesungguhnya nama merupakan identitas seseorang, bukti atas dirinya, serta merupakan kebutuhan yang sangat urgen dalam memahami dirinya di saat bersamanya, atau saat bersikap kepadanya. Bagi seorang anak, nama merupakan sebuah perhiasan dan syi’ar yang dengannya ia akan diseru di dunia maupun di akhirat. Nama merupakan bentuk pujian terhadap agama dan pertanda bahwa ia termasuk pemeluknya. Lihatlah seseorang yang masuk ke dalam dinul Islam, bagaimana ia mengubah namanya menjadi nama syar’i, tidak lain karena nama merupakan syi’ar baginya. Nama juga merupakan tanda yang dapat mengungkap identitas orang tuanya dan alat pengukur terhadap pemahaman diennya.
HUKUM PEMBERIAN NAMA
Allah subhanahu wa ta’ala menuntunkan kepada keturunan Adam untuk memberikan nama pada anak, sebagaimana Allah telah memberi nama “Yahya” kepada putra Nabi Zakariyya ‘alaihis salam yang akan dilahirkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلاَمٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
“Hai Zakariyya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang serupa dengannya.” (QS Maryam: 7)
Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma’ mengatakan bahwa para ulama bersepakat atas wajibnya memberikan nama, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Anak yang tidak memiliki nama tidak akan dikenal (majhul) dan tersamarkan dengan yang lainnya, tidak bisa dibedakan, karena nama berfungsi untuk menentukan, membedakan, dan mengenali si anak.
Pentingnya nama antara lain:
1. Nama adalah hal pertama yang diperuntukkan bagi anak ketika ia keluar dari kegelapan rahim
2. Nama adalah sifat pertama yang membedakannya dengan sesama jenisnya
3. Nama adalah hal pertama yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya, yang memiliki hubungan sifat pewarisan dan keturunan
4. Nama adalah bekal bagi seorang anak untuk masuk ke tengah-tengah masyarakat.
WAKTU PEMBERIAN NAMA
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa waktu pemberian nama itu ada 3 macam:
1. Memberinya nama pada hari kelahirannya
2. Memberinya nama pada hari ketiga dari kelahirannya
3. Memberinya nama pada hari ketujuh dari kelahirannya.
Perbedaan ini hanya bersifat ikhtilaf tanawwu’ (perselisihan yang bisa ditoleransi) yang menunjukkan bahwa dalam persoalan ini ada kelonggarannya.
YANG BERHAK MEMBERI NAMA
Tidak ada perselisihan bahwa sang ayah adalah orang yang paling berhak untuk menamai anaknya. Jika seorang ayah berbeda pendapat dengan seorang ibu dalam menentukan nama untuk anaknya, maka ayahlah sebagai pihak yang diutamakan.
Berdasarkan hal tersebut, maka seorang ibu hendaknya tidak membantah dan menyelisihi. Sementara dalam musyawarah antara kedua orang tua terdapat suatu kesempatan yang luas untuk saling meridhai, berlemah-lembut, dan memperkokoh tali hubungan antarkeluarga.
Sebagaimana telah diriwayatkan dengan shahih dari sekelompok sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka biasa menyodorkan putra-putri mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau berkenan memberikan nama. Hal ini menunjukkan bahwa seorang ayah hendaknya bermusyawarah dalam memberikan nama dengan seorang ulama yang mengetahui tentang sunnah atau ahlus sunnah yang terpercaya dalam dien dan ilmunya agar menunjukkan kepadanya sebuah nama yang baik bagi anaknya.
NISBAH ANAK
Sebagaimana pemberian nama adalah hak bagi seorang ayah, maka seorang anak juga dinisbahkan (disandarkan) kepada ayahnya, bukan kepada ibunya, dan dia dipanggil dengan nama ayahnya, bukan dengan nama ibunya. Maka dalam penulisan nama, biasa disebut “fulan bin fulan”, dan bukan dipanggil “fulan bin fulanah”.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ادْعُوهُمْ ِلآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah…” (QS Al Ahzab: 5)
Namun ada kenyataan bahwa terjadi penghilangan lafazh “ibnu” pada nama fulan ibnu fulan dan ini mulai menyebar di kalangan kaum muslimin pada abad 14 Hijriyah, sehingga mereka mengatakan, misalnya Muhammad ‘Abdullah.
Ini merupakan uslub (tata bahasa) yang dibuat-buat, asing, tidak dikenal oleh bangsa Arab, dan tidak sesuai dengan lisan mereka, bahkan tidak memiliki kedudukan dalam tata bahasa Arab (I’rob).
Apakah dunia telah mendengar seseorang yang menyebut nasab Nabi dengan mengatakan Muhammad ‘Abdullah?
Lihatlah bagaimana penghilangan (lafazh ibnu) ini telah mengundang kesamaran ketika disatukan antara nama laki-laki dengan nama perempuan, sebagai contoh Asma’ dan Kharijah. Nama ini tidak akan jelas di atas kertas, kecuali dengan menyambungkan nasab dengan lafazh “ibnu” fulan atau “binti” fulan.
Terdapat pula kekeliruan para istri yang menisbahkan namanya kepada suami. Misalnya istri bernama Fathimah bin ‘Abdullah, setelah menikah dengan Ahmad maka ia menisbahkan namanya menjadi Fathimah Ahmad. Ini banyak dijumpai pada masyarakat umum.
NAMA-NAMA YANG DISUNNAHKAN DAN DIPERBOLEHKAN
Urutan dan tingkatan nama-nama yang disunnahkan dan diperbolehkan adalah sebagai berikut:
1. ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman
Disunnahkan memberi nama dengan dua nama yakni ‘Abdullah (hamba Allah) dan ‘Abdurrahman (hambanya Yang Maha Pengasih), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ أَحَبَّ اْلأَسْمَاءِ إِلَى اللهِ عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ
“Sesungguhnya nama yang paling dicintai oleh Allah adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.” (HR Muslim, Abu Dawud dan selainnya dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri juga telah menamai putra pamannya—‘Abbas radhiyallahu ‘anhu—dengan nama ‘Abdullah.
Di kalangan para sahabat ada sekitar 300 orang yang semuanya bernama ‘Abdullah. Begitu pula bayi pertama yang lahir dari kalangan kaum Muhajirin setelah hijrah ke Madinah adalah bernama ‘Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu.
2. ‘Abdu dari Asmaul Husna
Disunnahkan memberi nama dengan ta’bid (memakai lafazh ‘abdu) dengan nama-nama Allah yang baik (asmaul husna), seperti ‘Abdul Aziz (hambanya Yang Maha Mulia), ‘Abdul Malik (hambanya Yang Maha menguasai), dan lain-lain.
3. Nama-nama Nabi dan Rasul
Para nabi dan rasul Allah subhanahu wa ta’ala merupakan pemimpin anak Adam. Akhlaq mereka merupakan semulia-mulia akhlaq dan amalan mereka merupakan amalan yang paling suci sehingga bila menamai dengan nama mereka akan mengingatkan kita pada kemuliaan mereka.
Ulama telah bersepakat akan bolehnya memberi nama dengan nama mereka. (Syarhu Muslim oleh Imam Nawawi 8/437 dan lihat Maratibul Ijma’ hlm. 154-155)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri menamakan salah seorang anaknya dengan nama Nabi, sebagaimana sabda beliau:
وُلِدَلِي اللَّيْلَةَ غُلاَمُ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي إِبْرَاهِيْمَ
“Semalam telah lahir untukku seorang anak laki-laki, maka aku beri nama dengan nama moyangku, Ibrahim.” (HR Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Yang paling afdhol dari nama para nabi adalah nama nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hal ini beliau bersabda:
سَمُّوا بِاسْمِي وَلاَ تَكْتَنُوا بِكُنْيَتِي
“Namailah oleh kalian dengan namaku dan jangan berkunyah dengan kun-yahku.” (Hadits riwayat Al Bukhari 10/571-Fathul Bari, Muslim 14/359-Syarhun Nawawi, Abu Dawud 4965, Tirmidzi 2841, dll)
4. Nama-nama Orang Shalih
Al Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda:
إِنَّهُمْ كَانُوْا يُسَمُّوْنَ بِأَنْبِيَائِهِمْ وَالصَّالِحِيْنَ قَبْلَهُمْ
“Sesungguhnya mereka (umat-umat terdahulu) menamakan dengan nama para nabi mereka dan orang-orang shalih sebelum mereka.” (HR Muslim)
Seorang sahabat bernama Zubair bin Al ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu menamakan anak laki-lakinya yang berjumlah 9 orang dengan nama para syuhada. Mereka adalah:
a) ‘Abdullah (diambil dari nama ‘Abdullah bin Jahsy, syahid dalam Perang Uhud)
b) Al Mundzir (diambil dari nama Al Mundzir bin ‘Amr Al Anshari)
c) ‘Urwah (diambil dari nama ‘Urwah bin Mad’ud Ats Tsaqafi)
d) Hamzah (diambil dari nama Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, syahid dalam Perang Uhud)
e) Ja’far (diambil dari nama Ja’far bin Abi Thalib, syahid dalam Perang Mu’tah)
f) Mush’ab (diambil dari nama Mush’ab bin ‘Umair, pembawa bendera dan syahid dalam Perang Uhud)
g) ‘Ubaidah (diambil dari nama ‘Ubaidah bin Al Harits, syahid dalam Perang Badr)
h) Khalid (diambil dari nama Khalid bin Sa’id)
i) ‘Umar (diambil dari nama ‘Umar bin Sa’id, saudara Khalid bin Sa’id terbunuh dalam Perang Yarmuk).
Demikian pula, dapat ditemukan di kalangan kaum muslimin ada seseorang yang menamai anak-anaknya dengan nama-nama Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum yaitu Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali. Nama para sahabat Nabi antara lain: ‘Ammar, ‘Amr, Bilal, Hudzaifah, Jabir, Mu’awiyah, Salman, Sufyan, ‘Ukkasyah, Ubay. Nama para ulama seperti Al Fudhail, Syu’bah, Hammad, ‘Ubaid.
Dan ada pula yang menamai anak-anak perempuannya dengan nama-nama para ummahatul mu’minin, istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni: Khadijah, Saudah, ‘Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Zainab, Shafiyyah, Juwairiyah, Maimunah. Juga putri Nabi: Fathimah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum. Banyak pula para shahabiyah seperti Asma’, Sumayyah, Ummu Sulaim, Ummu Waraqah, Asy Syifa’, Ummu Hakim, Ummu Aiman, Hindun, Ummu Syarik, Ummu Fadhl, Ar Ruba’i, Khansa’, Khaulah, Ummu Rumman, Ummu Umarah, Ummu Mahjan, dan lain-lain
5. Nama-nama yang Sifatnya Benar
Nama anak dinilai mengandung sifat syar’i jika memenuhi dua syarat berikut ini:
Pertama, nama tersebut berasal dari bahasa Arab, sehingga tidak termasuk di dalamnya setiap nama ‘ajam (asing/non Arab), campuran, ataupun diserap ke dalam lisan Arab.
Kedua, nama tersebut baik maknanya secara bahasa dan syar’i, sehingga tidak boleh menamai dengan nama-nama yang mengandung unsur tazkiyyah (menganggap dirinya suci), celaan ataupun cercaan. Contoh nama yang mengandung tazkiyyah: Aflah (yang paling berhasil), Rabbah (yang paling beruntung), Yassar (yang paling mudah), Muthi’ah (perempuan yang taat). Contoh nama yang mengandung celaan: ‘Ashiyah (wanita yang bermaksiat).
ADAB PEMBERIAN NAMA
Nama memiliki sejumlah adab sebagai berikut:
1. Bersungguh-sungguh untuk memilih nama yang paling dicintai
2. Memperhatikan sedikitnya huruf seoptimal mungkin
3. Memperhatikan ringannya untuk diucapkan oleh lisan
4. Memperhatikan pemberian nama yang cepat menghujam dalam pendengaran seseorang
5. Memperhatikan kesesuaian
NAMA-NAMA YANG DIHARAMKAN
Syari’at telah mengharamkan pemberian nama dengan salah satu dari bentuk penamaan di bawah ini:
1. Nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, seperti nama ‘Abdur Rasul (hambanya rasul), ‘Abdu Ali (hambanya Ali), ‘Abdul Husain (hambanya Al Husain), ‘Abdusy Syams (hambanya matahari), dan lain-lain.
2. Nama-nama yang khusus untuk Allah tabaraka wa ta’ala seperti Ar Rahman, Ar Rahim, Al Khaliq, Al Bari’, dan lain-lain.
3. Nama-nama ‘ajam (selain Arab) yang biasa digunakan oleh orang-orang kafir seperti nama Petrus, George, Diana, Rosa, Suzan, Steven, dan semisalnya. Ini merupakan taqlid (ikut-ikutan/membebek) kepada orang kafir yang bila disertai keyakinan bahwa nama-nama mereka lebih baik daripada nama-nama kaum muslimin maka ini merupakan bahaya yang besar yang dapat menggelincirkan pokok keimanan.
4. Nama-nama berhala seperti Latta, ‘Uzza, Isaf, Nailah, dan Hubal.
5. Nama-nama ‘ajam dari Turki, Persia (Iran), Barbar atau selainnya yang tidak sesuai dengan bahasa Arab dan lisannya, di antaranya Nariman, Syerehan, Nevin, Syeirin, Syadi, dan Jihan.
6. Nama yang mengandung klaim terhadap apa yang tidak ada pada si penyandang nama, seperti Malakul Amlak (raja diraja), Sulthanus Salathin (sultan segala sultan), Hakimul Hukkam (hakim segala hakim), Sayyidun Nas (pemimpin seluruh manusia), Sittun Nisa’ (penghulu seluruh wanita).
7. Nama-nama syaithan seperti Hinzab, Al Walhan, Al ‘Awar, Al Ajda.
NAMA-NAMA YANG DIMAKRUHKAN
Berikut ini beberapa nama yang dimakruhkan atau tidak disukai penggunaannya:
1. Nama yang menyebabkan hati cenderung untuk menjauh darinya karena makna yang terkandung padanya seperti Harb (perang), Murroh (pahit), Khonjar (pisau besar), Fadhih (membuka aibnya), Fahith (terancam bahaya), Nadiyah (jauh dari air), dan lain-lain.
2. Nama yang mengundang syahwat yang banyak digunakan pada perempuan, di antaranya Ahlam (lamunan), Arij (perempuan yang semerbak baunya), ‘Abir (perempuan yang harum baunya), Ghodah (perempuan yang lemah-gemulai/genit), Fathin (pembuat fitnah), dan Syadiyah (penyanyi).
3. Nama kaum fasiq yang kosong hatinya dari kemuliaan iman, seperti nama para artis, penyanyi, pelawak.
4. Nama yang menunjukkan atas dosa dan maksiat seperti nama Zhalim bin Sarraq (Zhalim bin pencuri).
5. Nama-nama tokoh kekafiran seperti Fir’aun, Qarun, Haman.
6. Nama yang dibenci seperti Khabiyyah bin Kannaz (penilep bin penimbun).
7. Nama-nama hewan yang terkenal dengan sifat kotor seperti Hanasy (ular berbisa), Himar (keledai), Qunfudz (landak), Qunaifadz (landak kecil), Qirdani (kutu binatang), Kalb (anjing), Kulaib (anjing kecil).
8. Nama yang disandangkan kepada lafazh ad dien dan al Islam, seperti Nuruddin (cahaya agama), Dhiyauddin (sinar agama), Saiful Islam (pedang Islam), Nurul Islam (cahaya Islam). Sebenarnya Imam Nawawi tidak suka dirinya diberi laqob (gelar) dengan Muhyiddin (yang menghidupkan agama). Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga tidak suka diberi gelar Taqiyyuddin (yang menjaga agama). Beliau berkata, “Akan tetapi keluargaku menggelariku dengannya kemudian menjadi terkenallah gelar tersebut.”
9. Nama yang murakkab (tersusun rangkap/lebih dari satu), seperti Muhammad Ahmad, Muhammad Sa’id. Nama-nama tersebut mengundang keraguan dan percampuran. Karenanya hal tersebut tidak dikenal di kalangan salaf, dan merupakan nama orang-orang abad belakangan. Termasuk pula nama-nama yang disandarkan kepada lafazh Allah seperti Hasbullah (cukuplah Allah sebagai penolong), Rahmatullah (rahmat Allah), kecuali nama ‘Abdullah (hamba Allah) karena ia adalah nama yang paling disukai Allah subhanahu wa ta’ala.
10. Sebagian para ulama ada yang memakruhkan pemberian nama para malaikat seperti Jibril, Mikail, Israfil.
11. Sebagian para ulama ada yang memakruhkan pemberian nama dari surat-surat Al Qur’anul Karim misalnya Thoha, Yasin, Hamim.
SOLUSI DARI NAMA YANG HARAM ATAU MAKRUH
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengganti nama yang buruk dengan nama yang baik.” (HR Tirmidzi 2/137, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 207)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengganti nama Hazn (kesedihan) dengan Sahl (mudah), nama Harb (perang) dengan Salam (damai).
Tampak pula dalam petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengganti nama yang tidak baik dengan nama yang mendekati pengucapannya seperti beliau mengganti nama Syihab (meteor) menjadi Hisyam (kedermawanan), Jatstsamah (yang banyak mendekam) menjadi Hassanah (kebaikan).
Demikian pula mengganti nama ‘Abdun Nabi (hambanya nabi) menjadi ‘Abdul Ghani (hambanya Yang Maha Kaya), ‘Abdur Rasul (hambanya rasul) menjadi ‘Abdul Ghafur (hambanya Yang Maha Pengampun), ‘Abdul Husain (hambanya Al Husain) menjadi ‘Abdurrahman, Hanasy (ular berbisa) menjadi Anas (ramah).
SUNNAH MEMBERI KUN-YAH
Kun-yah adalah nama yang dimulai dengan kata “Abu” (ayah) untuk laki-laki dan “Ummu” (ibu) untuk perempuan, misalnya Abu Muhammad (ayahnya Muhammad) dan Ummu Muhammad (ibunya Muhammad). Demikian pula kun-yah dengan memakai kata “ibnu” (putra) dan “ibnatu” atau “bintu” (putri), seperti Ibnu ‘Umar dan Bintu ‘Umar.
Memberi kun-yah ini merupakan perkara yang sunnah, namun sayangnya banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin.
Kun-yah dapat pula diberikan kepada anak kecil, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memanggil seorang anak kecil dengan kun-yahnya bukan dengan namanya, beliau bersabda:
يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ؟
“Wahai Abu ‘Umair, apa yang dilakukan burung kecil itu?” (HR Al Bukhari 6203-Fathul Bari, Muslim 2150-Syarhun Nawawi, Abu Dawud 4969, Tirmidzi 1989, dan selainnya)
Imam Al Bukhari rahimahullah membuat bab tersendiri tentang masalah ini dan beliau namakan “Bab Memberi Kun-yah untuk Anak Kecil dan untuk Laki-laki yang Belum Memiliki Anak”.
Pemberian kun-yah itu tidak memutlakkan bahwa yang diberi kun-yah sudah memiliki anak. Sebagaimana ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu memiliki kun-yah Abu Hafsh padahal tidak ada di antara putranya yang bernama Hafsh. Demikian pula Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tidak ada putranya yang bernama Bakr. Dari kalangan perempuan, telah ma’ruf bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha memiliki kun-yah Ummu ‘Abdillah padahal ‘Aisyah tidak memiliki seorang anak pun.
NISBAH KEPADA NEGERI KELAHIRAN, PEKERJAAN, KETERKENALAN, MANHAJ SALAF
Para salaf (pendahulu) shalih kaum muslimin ada yang dikenal dengan nama negeri kelahirannya, pekerjaan, dan hal-hal khusus/unik yang membuatnya dikenal masyarakat.
Sebagai contoh Muhammad bin ‘Ismail bin Al Mughirah yang kun-yahnya Abu ‘Abdillah, seorang ulama ahli hadits yang menyusun kitab (hadits) paling shahih setelah Al Qur’an, lahir di negeri Bukhara, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Al Bukhari.
Sahabat Nabi, Salman radhiyallahu ‘anhu bernisbah Al Farisi karena berasal dari negeri Persia. Banyak pula nisbah berdasarkan negerinya seperti Al Bashri karena lahir di kota Bashrah (Iraq), Al Mishri lahir di Mesir, Al Madani lahir di Madinah, Al Kufi lahir di Kufah (Iraq), Al Albani lahir di negara Albania, Al Jazairi lahir di Aljazair.
Ada Abu ‘Utsman, penulis kitab ‘Aqidah As Salaf Ash-habul Hadits yang bernama asli Isma’il bin ‘Abdurrahman yang hidup di lingkungan pekerja pembuat sabun, maka beliau dinisbahkan dengan nama Imam Abu ‘Utsman Ash Shabuni.
Perawi hadits, Sulaiman bin Mihran diberi laqob (gelar/julukan) dengan Al A’masy (seorang rabun) karena beliau bermasalah dengan penglihatannya. ‘Abdurrahman bin Hurmuz dijuluki Al A’raj (seorang yang cacat kakinya) karena memang ada kekurangan fisik pada kakinya. Pemberian laqob ini diperbolehkan hanya dalam rangka pengenalan, tetapi diharamkan penyebutan laqob tersebut jika dalam bentuk pelecehan.
Sedangkan nisbah kepada manhaj yang selamat seperti bernisbah dengan As Salafi (pengikut salaf), Al Atsari (pengikut atsar/hadits) merupakan perkara yang terpuji. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Penisbatan kepada salaf ini akan memuliakan orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada mereka dan akan menuntunnya dalam menempuh jalan Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat).”
Rujukan:
1. Tasmiyatul Maulud karya Syaikh Bakr Abu Zaid, edisi Indonesia: Nama-nama Indah buat Sang Bayi, cetakan V, Penerbit Al Qowam
2. Berhias dengan Nama Syar’i (Syarat, Hukum, dan Adab-adabnya) oleh Abul Muslim Al Atsari & Zulfa, artikel di Majalah Salafy edisi XX/1418/1997 Lembar Muslimah hlm. 8-19
3. CD-45 Tasjilat Al Atsariyyah track 01: Biografi Imam Abu ‘Utsman Isma’il bin Abdirrahman Ash Shabuni An Naisaburi
4. Mengapa kita harus menamai diri kita Salafy, artikel di Majalah Salafy edisi perdana/Syaban/1416/1995, hlm. 8-10

Selasa, 03 Maret 2015

HUKUM HARAM NYA MERAYAKAN VALENTINE DALAM ISLAM(ujian praktikum)

6 Alasan mengapa HARAM hukumnya mengikuti perayaan "valentine"


Sekilas tentang hari Valentine

Alhamdulillahilladzi hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fih kama yuhibbu robbuna wa yardho. Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.Banyak kalangan pasti sudah mengenal hari valentine (bahasa Inggris: Valentine’s Day). Hari tersebut dirayakan sebagai suatu perwujudan cinta kasih seseorang. Perwujudan yang bukan hanya untuk sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta. Namun, hari tersebut memiliki makna yang lebih luas lagi. Di antaranya kasih sayang antara sesama, pasangan suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik dan lainnya. Sehingga valentine’s day biasa disebut pula dengan hari kasih sayang.

Sejarah asal usul ditetapkanya hari Valentine

Sebenarnya ada banyak versi yang tersebar berkenaan dengan asal-usul Valentine’s Day. Namun, pada umumnya kebanyakan orang mengetahui tentang peristiwa sejarah yang dimulai ketika dahulu kala bangsa Romawi memperingati suatu hari besar setiap tanggal 15 Februari yang dinamakan Lupercalia. Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama–nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan dijadikan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.

Ketika agama Kristen Katolik menjadi agama negara di Roma, penguasa Romawi dan para tokoh agama katolik Roma mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (The World Book Encyclopedia 1998).

Kaitan Hari Kasih Sayang dengan Valentine

The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” yang dimaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan Tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.

Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan daripada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (The World Book Encyclopedia, 1998).

Versi lainnya menceritakan bahwa sore hari sebelum Santo Valentinus akan gugur sebagai martir (mati sebagai pahlawan karena memperjuangkan kepercayaan), ia menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis “Dari Valentinusmu”. (Sumber pembahasan di atas: http://id.wikipedia.org/ dan lain-lain)

Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan:


  1. Valentine’s Day berasal dari upacara keagamaan Romawi Kuno yang penuh dengan paganisme dan kesyirikan.
  2. Upacara Romawi Kuno di atas akhirnya dirubah menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day atas inisiatif Paus Gelasius I. Jadi acara valentine menjadi ritual agama Nashrani yang dirubah peringatannya menjadi tanggal 14 Februari, bertepatan dengan matinya St. Valentine.
  3. Hari valentine juga adalah hari penghormatan kepada tokoh nashrani yang dianggap sebagai pejuang dan pembela cinta.
  4. Pada perkembangannya di zaman modern saat ini, perayaan valentine disamarkan dengan dihiasi nama “hari kasih sayang”.
  5. Sungguh ironis memang kondisi umat Islam saat ini. Sebagian orang mungkin sudah mengetahui kenyataan sejarah di atas. Seolah-olah mereka menutup mata dan menyatakan boleh-boleh saja merayakan hari valentine yang cikal bakal sebenarnya adalah ritual paganisme. Sudah sepatutnya kaum muslimin berpikir, tidak sepantasnya mereka merayakan hari tersebut setelah jelas-jelas nyata bahwa ritual valentine adalah ritual non muslim bahkan bermula dari ritual paganisme.

Selanjutnya kita akan menyebutkan 6 Alasan Mengapa HARAM Hukumnya Ikut Merayakan Hari Valentine.

Alasan Pertama: Merayakan Valentine Berarti Meniru-niru Orang Kafir

Agama Islam telah melarang kita meniru-niru orang kafir (baca: tasyabbuh). Larangan ini terdapat dalam berbagai ayat, juga dapat ditemukan dalam beberapa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hal ini juga merupakan kesepakatan para ulama (baca: ijma’). Inilah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim (Ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim Al ‘Aql, terbitan Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ ، فَخَالِفُوهُمْ

“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nashrani tidak mau merubah uban, maka selisihlah mereka.” (HR. Bukhari no. 3462 dan Muslim no. 2103) Hadits ini menunjukkan kepada kita agar menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani secara umum dan di antara bentuk menyelisihi mereka adalah dalam masalah uban. (Iqtidho’, 1/185)

Dalam hadits lain, Rasulullah menjelaskan secara umum supaya kita tidak meniru-niru orang kafir. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [hal. 1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman dalam Irwa’ul Gholil no. 1269). Telah jelas di muka bahwa hari Valentine adalah perayaan paganisme, lalu diadopsi menjadi ritual agama Nashrani. Merayakannya berarti telah meniru-niru mereka.

Alasan Kedua: Menghadiri Perayaan Orang Kafir Bukan Ciri Orang Beriman

Allah Ta’ala sendiri telah mencirikan sifat orang-orang beriman. Mereka adalah orang-orang yang tidak menghadiri ritual atau perayaan orang-orang musyrik dan ini berarti tidak boleh umat Islam merayakan perayaan agama lain semacam valentine. Semoga ayat berikut bisa menjadi renungan bagi kita semua.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon [25]: 72)

Ibnul Jauziy dalam Zaadul Masir mengatakan bahwa ada 8 pendapat mengenai makna kalimat “tidak menyaksikan perbuatan zur”, pendapat yang ada ini tidaklah saling bertentangan karena pendapat-pendapat tersebut hanya menyampaikan macam-macam perbuatan zur. Di antara pendapat yang ada mengatakan bahwa “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas.

Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, maka ini berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib (Lihat Iqtidho’, 1/483). Jadi, merayakan Valentine’s Day bukanlah ciri orang beriman karena jelas-jelas hari tersebut bukanlah hari raya umat Islam.

Alasan Ketiga: Mengagungkan Sang Pejuang Cinta Akan Berkumpul Bersamanya di Hari Kiamat Nanti

Jika orang mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan keutamaan berikut ini.

Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَتَّى السَّاعَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ

“Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

مَا أَعْدَدْتَ لَهَا

“Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”

Orang tersebut menjawab,

مَا أَعْدَدْتُ لَهَا مِنْ كَثِيرِ صَلاَةٍ وَلاَ صَوْمٍ وَلاَ صَدَقَةٍ ، وَلَكِنِّى أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain di Shohih Bukhari, Anas mengatakan,

فَمَا فَرِحْنَا بِشَىْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – « أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ » . قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّى إِيَّاهُمْ ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ

“Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).”

Anas pun mengatakan,

فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّى إِيَّاهُمْ ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ

“Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”

Bandingkan, bagaimana jika yang dicintai dan diagungkan adalah seorang tokoh Nashrani yang dianggap sebagai pembela dan pejuang cinta di saat raja melarang menikahkan para pemuda. Valentine-lah sebagai pahlawan dan pejuang ketika itu. Lihatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Kalau begitu engkau bersama dengan orang yang engkau cintai”. Jika Anda seorang muslim, manakah yang Anda pilih, dikumpulkan bersama orang-orang sholeh ataukah bersama tokoh Nashrani yang jelas-jelas kafir?

Siapa yang mau dikumpulkan di hari kiamat bersama dengan orang-orang kafir[?] Semoga menjadi bahan renungan bagi Anda, wahai para pengagum Valentine!

Alasam Keempat: Ucapan Selamat Berakibat Terjerumus Dalam Kesyirikan dan Maksiat

“Valentine” sebenarnya berasal dari bahasa Latin yang berarti: “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. (Dari berbagai sumber)

Oleh karena itu disadari atau tidak, jika kita meminta orang menjadi “To be my valentine (Jadilah valentineku)”, berarti sama dengan kita meminta orang menjadi “Sang Maha Kuasa”. Jelas perbuatan ini merupakan kesyirikan yang besar, menyamakan makhluk dengan Sang Khalik, menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala.

Kami pun telah kemukakan di awal bahwa hari valentine jelas-jelas adalah perayaan nashrani, bahkan semula adalah ritual paganisme. Oleh karena itu, mengucapkan selamat hari kasih sayang atau ucapan selamat dalam hari raya orang kafir lainnya adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (baca: ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah (1/441, Asy Syamilah). Beliau rahimahullah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal atau selamat hari valentine, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.”

Alasan Kelima: Hari Kasih Sayang Menjadi Hari Semangat Berzina

Perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih.

Dalam semangat hari Valentine itu, ada semacam kepercayaan bahwa melakukan maksiat dan larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan, berciuman, bahkan hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja itu menjadi boleh. Alasannya, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang. Na’udzu billah min dzalik.

Padahal mendekati zina saja haram, apalagi melakukannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’ [17]: 32)

Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang.

Kerusakan Keenam: Meniru Perbuatan Setan

Menjelang hari Valentine-lah berbagai ragam coklat, bunga, hadiah, kado dan souvenir laku keras. Berapa banyak duit yang dihambur-hamburkan ketika itu. Padahal sebenarnya harta tersebut masih bisa dibelanjakan untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat atau malah bisa disedekahkan pada orang yang membutuhkan agar berbuah pahala. Namun, hawa nafsu berkehendak lain. Perbuatan setan lebih senang untuk diikuti daripada hal lainnya. Itulah pemborosan yang dilakukan ketika itu mungkin bisa bermilyar-milyar rupiah dihabiskan ketika itu oleh seluruh penduduk Indonesia, hanya demi merayakan hari Valentine. Tidakkah mereka memperhatikan firman Allah,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’ [17]: 26-27). Maksudnya adalah mereka menyerupai setan dalam hal ini. Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu pada jalan yang keliru.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim)

Penutup

Itulah sebagian kerusakan yang ada di hari valentine, mulai dari paganisme, kesyirikan, ritual Nashrani, perzinaan dan pemborosan. Sebenarnya, cinta dan kasih sayang yang diagung-agungkan di hari tersebut adalah sesuatu yang semu yang akan merusak akhlak dan norma-norma agama. Perlu diketahui pula bahwa Valentine’s Day bukan hanya diingkari oleh pemuka Islam melainkan juga oleh agama lainnya. Sebagaimana berita yang kami peroleh dari internet bahwa hari Valentine juga diingkari di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Alasannya, karena hari valentine dapat merusak tatanan nilai dan norma kehidupan bermasyarakat. Kami katakan: “Hanya orang yang tertutup hatinya dan mempertuhankan hawa nafsu saja yang enggan menerima kebenaran.”

Oleh karena itu, kami ingatkan agar kaum muslimin tidak ikut-ikutan merayakan hari Valentine, tidak boleh mengucapkan selamat hari Valentine, juga tidak boleh membantu menyemarakkan acara ini dengan jual beli, mengirim kartu, mencetak, dan mensponsori acara tersebut karena ini termasuk tolong menolong dalam dosa dan kemaksiatan. Ingatlah, Setiap orang haruslah takut pada kemurkaan Allah Ta’ala. Semoga tulisan ini dapat tersebar pada kaum muslimin yang lainnya yang belum mengetahui. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada kita semua.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

HUKUM SHOLAT BERJAMAAH BAGI WANITA DALAM ISLAM(ujian praktikum)


Hukum Shalat Berjamaah di Masjid Bagi Wanita (dari berbagai pendapat)

Shalat berjamaah di masjid merupakan perkara yang lazim. Namun sesungguhnya Islam telah mengatur hal-hal khusus bagi wanita. Dan bagaimana Islam menyikapi kondisi saat ini di mana para wanita datang ke masjid dengan bersolek dan membuka auratnya? Simak bahasan berikut.
Sejak zaman nubuwwah, kehadiran wanita untuk shalat berjamaah di masjid bukanlah sesuatu yang asing. Hal ini kita ketahui dari hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Kata beliau:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan shalat ‘Isya hingga ‘Umar berseru memanggil beliau seraya berkata: ‘Telah tertidur para wanita dan anak-anak [1]. Maka keluarlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berkata kepada orang-orang yang hadir di masjid:
“Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini selain kalian.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 566 dan Muslim no. 638)
Aisyah radhiyallahu ‘anha juga berkata:
“Mereka wanita-wanita mukminah menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka seselesainya dari shalat tanpa ada seorang pun yang mengenali mereka karena masih gelap.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 578 dan Muslim no. 645)
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menceritakan: “Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para wanita yang ikut hadir dalam shalat berjamaah, selesai salam segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jamaah laki-laki tetap diam di tempat mereka sekedar waktu yang diinginkan Allah. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit, bangkit pula kaum laki-laki tersebut.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 866, 870)
Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Aku berdiri untuk menunaikan shalat dan tadinya aku berniat untuk memanjangkannya. Namun kemudian aku mendengar tangisan bayi, maka aku pun memendekkan shalatku karena aku tidak suka memberatkan ibunya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 868)
Beberapa hadits di atas cukuplah menunjukkan bagaimana keikutsertaan wanita dalam shalat berjamaah di masjid. Lalu sekarang timbul pertanyaan, apa hukum shalat berjamaah bagi wanita?
Dalam hal ini wanita tidaklah sama dengan laki-laki. Dikarenakan ulama telah sepakat bahwa shalat jamaah tidaklah wajib bagi wanita dan tidak ada perselisihan pendapat di kalangan mereka dalam permasalahan ini.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata (Al-Muhalla, 3/125): “Tidak diwajibkan bagi kaum wanita untuk menghadiri shalat maktubah (shalat fardhu) secara berjamaah. Hal ini merupakan perkara yang tidak diperselisihkan (di kalangan ulama).” Beliau juga berkata: “Adapun kaum wanita, hadirnya mereka dalam shalat berjamaah tidak wajib, hal ini tidaklah diperselisihkan. Dan didapatkan atsar yang shahih bahwa para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di kamar-kamar mereka dan tidak keluar ke masjid.” (Al-Muhalla, 4/196)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyatakan: “Telah berkata teman-teman kami bahwa hukum shalat berjamaah bagi wanita tidaklah fardhu ‘ain tidak pula fardhu kifayah, akan tetapi hanya mustahab (sunnah) saja bagi mereka.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/188)
Ibnu Qudamah rahimahullah juga mengisyaratkan tidak wajibnya shalat jamaah bagi wanita dan beliau menekankan bahwa shalatnya wanita di rumahnya lebih baik dan lebih utama. (Al-Mughni, 2/18)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah bersabda kepada para wanita:
“Shalatnya salah seorang di makhda’-nya (kamar khusus yang digunakan untuk menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di kamarnya. Dan shalatnya di kamar lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Dan shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid kaumnya. Dan shalatnya di masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 155)
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
“Jangan kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari shalat di masjid-masjid-Nya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 990 dan Muslim no. 442)
Dalam riwayat Abu Dawud (no. 480) ada tambahan:
“meskipun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no. 576 dan dalam Al-Misykat no. 1062)
Dalm Nailul Authar, Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata setelah membawakan hadits di atas: “Yakni shalat mereka di rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka daripada shalat mereka di masjid-masjid, seandainya mereka mengetahui yang demikian itu. Akan tetapi mereka tidak mengetahuinya sehingga meminta ijin untuk keluar berjamaah di masjid, dengan keyakinan pahala yang akan mereka peroleh dengan shalat di masjid lebih besar. Shalat mereka di rumah lebih utama karena aman dari fitnah, yang menekankan alasan ini adalah ucapan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika melihat para wanita keluar ke masjid dengan tabarruj dan bersolek.”[2] (Nailul Authar, 3/168)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah setelah menyebutkan hadits: “meskipun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”, menyatakan dalam salah satu fatwanya: “Hadits ini memberi pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata: ‘Aku ingin shalat di masjid agar dapat berjamaah.’ Maka akan aku katakan: ‘Sesungguhnya shalatmu di rumahmu lebih utama dan lebih baik.’ Hal ini dikarenakan seorang wanita akan terjauh dari ikhtilath (bercampur baur tanpa batas) bersama lelaki lain sehingga akan menjauhkannya dari fitnah.” (Majmu’ah Durus Fatawa, 2/274)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda demikian sementara beliau berada di Madinah dan kita tahu shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan dan nilai lebih. Akan tetapi karena shalat wanita di rumahnya lebih tertutup baginya dan lebih jauh dari fitnah maka hal itu lebih utama dan lebih baik.” (Al-Fatawa Al-Makkiyyah, hal. 26-27, sebagaimana dinukil dalam Al-Qaulul Mubin fi Ma’rifati maa Yuhammul Mushallin, hal. 570)
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita akan keutamaan shalat wanita di rumahnya. Setelah ini mungkin timbul pertanyaan di benak kita: Apakah shalat berjamaah yang dilakukan wanita di rumahnya masuk dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Shalat berjamaah dibandingkan shalat sendiri lebih utama dua puluh lima (dalam riwayat lain: dua puluh tujuh derajat)”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 645, 646 dan Muslim no. 649, 650)
Dalam hal ini Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah menegaskan bahwa keutamaan 25 atau 27 derajat yang disebutkan dalam hadits khusus bagi shalat berjamaah di masjid dikarenakan beberapa perkara yang tidak mungkin didapatkan kecuali dengan datang berjamaah di masjid. (Fathul Bari, 2/165-167)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah meriwayatkan akan hal ini dalam sabdanya:
“Shalat seseorang dengan berjamaah dilipat gandakan sebanyak 25 kali lipat bila dibandingkan shalatnya di rumahnya atau di pasar. Hal itu dia peroleh dengan berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia keluar menuju masjid dan tidak ada yang mengeluarkan dia kecuali semata untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkah dengan satu langkah melainkan diangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu kesalahan. Tatkala ia shalat, para malaikat terus menerus mendoakannya selama ia masih berada di tempat shalatnya dengan doa: “Ya Allah, berilah shalawat atasnya. Ya Allah, rahmatilah dia.” Terus menerus salah seorang dari kalian teranggap dalam keadaan shalat selama ia menanti shalat.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 647 dan Muslim no. 649)
Dengan demikian, shalat jamaah wanita di rumahnya tidak termasuk dalam keutamaan 25 atau 27 derajat, akan tetapi mereka yang melakukannya mendapatkan keutamaan tersendiri, yaitu shalat mereka di rumahnya, secara sendiri ataupun berjamaah, lebih utama daripada shalatnya di masjid, wallahu a’lam.
_____________________________
Footnote:
*) Yakni mereka yang ikut hadir untuk shalat berjamaah di masjid. (Syarah Shahih Muslim, 5/137, Fathul Bari, 2/59)
**) Yang dimaksud Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah adalah atsar yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari (no. 869) dan Al-Imam Muslim (no. 445) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat apa yang diperbuat oleh para wanita itu, niscaya beliau akan melarang mereka mendatangi masjid sebagaimana dilarangnya para wanita Bani Israil.” Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Yang diperbuat oleh wanita tersebut adalah (keluar ke masjid dengan) mengenakan perhiasan, wangi-wangian, dan pakaian yang bagus.” (Syarah Shahih Muslim, 4/164)
Sumber: Majalah Asy Syari’ah

Wanita Sholat Jamaah di Masjid

Isi Pesan:
Assalamu’alaikum wrwb.
Saya menikah bulan april yang lalu. Sebelum menikah, saya dan istri insya Allah senantiasa menjaga sholat fardhu berjamaah. Sebagai laki-laki, saya berusaha menjalankan sholat waktu berjamaah di masjid. Sedangkan istri saya terbiasa berjamaah di kost bersama teman satu kost atau kontrakannya.
Setelah menikah dan tinggal berdua dengan istri saya tetap ingin menjalankan sholat jamaah di masjid. Konsekuensinya istri yang biasanya sholat jamaah di rumah terkadang jadi sholat sendirian.
Mohon kiranya ustadz memberikan solusi yang tepat bagi istri saya, bagaimana seharusnya mengambil keputusan. Bagi seorang wanita, manakah yg lebih utama, sholat dirumah atau ikut berjamaah dimasjid?
Jazakallah khairan katsir
NB: kondisi masjid di dekat rumah saya alhamdulillah cukup representatif bagi wanita karena ada hijab/pembatas jamaah pria dan wanita dan tempat wudhu pria dan wanita terpisah.

Jawaban:
Wassalaamu’alaykum warohmatullahi wa barokatuh
Mudah-mudahan Akh Ibnu sekeluarga selalu dalam hidayah Allah dan tetap istiqomah melakukan amalan-amalan yang terbaik.
Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, kami dapat memberikan jawaban sebagai berikut:
1. Anjuran  jamaah secara umum sesuai dengan hadis nabi:

رياض الصالحين (تحقيق الدكتور الفحل) – (2 / 17)
عن ابن عمر رضي الله عنهما : أنَّ رَسُول اللهِ – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : (( صَلاَةُ الْجَمَاعَة أفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً )) متفقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibn Umar r.a., bahwasanya Rasulullah saw bersabda:  “Sholat berjamaah itu adalah lebih utama dua puluhtujuh derajat dibanding sholat sendiri”  (Hadis muttafaqun alaih)
Hadis ini pada hekekatnya berlaku umum,  artinya baik laki-laki maupun perempuan akan memperoleh pahala yang sama apabila melaksanakan shalat berjamaah.
2. Dalam segi syariat pelaksanaannya  para ulama membedakan
    1. Untuk laki-laki yang merdeka,  madzhab Hanafi  dan Maliki menganggap sunnah muakaddah, Madzhab Syafi’i menganggap fardhu kifayah, sedangkan Madzhab Hambali menganggap wajib,  masing-masing dengan dalil yang kuat. Kesimpulannya untuk laki-laki perintah untuk sholat berjamaah di masjid sangat kuat minimal sunnah muakkadah (Al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaili)
    2. Untuk perempuan ada hadis yang berbunyi
صحيح ابن خزيمة – (3 / 92)
عن ابن عمر قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا تمنعوا نساءكم المساجد و بيوتهن خير لهن

Dari Ibnu Umar r.a., bhawasanya Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: “Janganlah kamu larang isteri-isteri mu (pergi shalat ke) masjid, namun (shalat) di rumah mereka lebih baik” (Hadis Shohih Ibnu Khuzaimah)
Berdasarkan hadis tersebut terdapat khilafiyah mengenai hukum boleh tidaknya wanita sholat berjamaah di masjid. Pertama, melarangnya (makruh), seperti ulama muta`akhir Hanafiyah. Ini untuk wanita tua dan muda, dengan alasan zaman telah rusak. Kedua, membolehkannya (khususnya wanita tua), seperti ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, dengan dalil hadis-hadis. (Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/322; Fatawa Al-Azhar, 1/20).
3. Kejadian pada masa Rasulullah:
Sejak zaman Rasulullah, kehadiran wanita dalam shalat berjamaah di masjid bukanlah sesuatu yang asing. Dalam artian, di antara shahabiyah (shahabat Rasulullah dari kalangan wanita) ada yang ikut menghadiri shalat berjamaah di belakang para shahabat walaupun itu tidak wajib bagi mereka.
Ada beberapa dalil dari sunnah yang shahihah yang menunjukkan keikutsertaan wanita dalam shalat berjamaah di masjid. Tiga di antaranya kami sebutkan berikut ini :
a. Hadits dari Aisyah radliyallahu ‘anha, ia berkata :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Isya hingga Umar memanggil beliau (dengan berkata) : “Telah tertidur para wanita dan anak anak.” Maka keluarlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata : “Tidak ada seorang pun selain kalian dari penduduk bumi yang menanti shalat ini.” (HR. Bukhari dalam kitab Mawaqit Ash Shalah 564 dan Muslim kitab Al Masajid 2/282)
Hadis ini mengabarkan kepada kita bahwa para wanita anak-anak telah sholat maghrib berjamaah bersama Rasulullah dan menunggu sholat Isya’, namun karena sholat Isya’ di ta’khirkan mereka tertidur.
Imam Nawawi dalam syarahnya terhadap hadits di atas berkata : “Ucapan Umar (Telah tertidur para wanita dan anak anak) yakni di antara mereka yang menanti didirikannya shalat berjamaah di masjid.
b. Dalam hadits lain, Aisyah radliyallahu ‘anha mengabarkan :
Mereka wanita wanita Mukminah menghadiri shalat shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut dengan kain kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah rumah mereka hingga mereka (selesai) menunaikan shalat tanpa ada seorangpun yang mengenali mereka karena masih gelap.” (HR. Bukhari 578)
c. Hadits dari Abi Qatadah Al Anshari radliyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Sesungguhnya aku berdiri untuk menunaikan shalat dan berkeinginan untuk memanjangkan shalat itu. Lalu aku mendengar tangisan bayi maka akupun memendekkan shalatku karena khawatir (tidak suka)memberatkan ibunya.” (HR. Bukhari 868, Abu Daud 789,

4. Kesimpulan
Anda boleh mengajak isteri anda sholat jamaah dengan dasar:
1)      Mengikuti pendapat yang mengatakan lebih utama sholat di rumah, jika sholatnya sholat jamaah, bukan sholat sendiri. Ini pendapat Ibnu Hazm (Al-Muhalla, 4/197) dan ulama Syafi’iyah seperti Imam Nawawi. (Al-Majmu’, 4/198). Pendapat ini juga didukung oleh keterangan-keterangan dari hadis yang shahih.
2)       Mengikuti kaidah fiqh I’maalu ad-dalilaini aula min ihmaali ahadimaa bi al-kulliyyah (Mengamalkan dua dalil adalah lebih utama daripada meninggalkan satu dalil secara keseluruhan.) (An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 3/492). Bahkan sesungguhnya ada tiga dalil;  pertama:  anjuran jamaah dengan pahala 27 derajat,  kedua: sholat   di rumah lebih baik , tetapi jangan dilarang apabila wanita ingin berjamaah di masjid, ketiga: pada zaman Rasulullah sudah banyak wanita yang berjamaah di masjid. Pendapat yang membolehkan menurut sebagian ulama lebih kuat karena mengamalkan ketiga dalil tersebut, karena kalau melarang atau memakruhkan hanya mengamalkan satu dalil saja yaitu sholat di rumah lebih baik.

Namun kiranya ada beberapa syarat yang harus diikuti:
  1. Wanita shalat jamaah di masjid bersama atau atas ijin suami, kecuali kalau sudah  tua.
  2. Tidak meninggalkan kewajibannya sebagai isteri (misalnya mengasuh anak, menyiapkan  makanan untuk keluarga dll).
  3. Tidak memakai wewangian yang menyebabkan orang tertarik kepadanya.
  4. Tidak tabarruj (menghias diri berlebihan)
  5. Tidak ikhtilat (bercampur antara laki-laki dan perempuan)
  6. Kalau di rumah bisa berjamaah dengan anak, kemenakan atau pembantu itu lebih baik.
Wallahu a’lam
Muhammad Rosyad
Tambahan jawaban dari Ustadzah Siti Hafidah, Lc, MA
Wa alaikum salam wr wb
Akhi fillah…sebelumnya sy ucapkan barokallahu laka wa baroka alaika wa jama’a bainakuma fi khoirin…
mengenai sholat berjama’ah bagi seorang wanita Nabi saw bersabda:
“janganlah kamu melarang para wanita pergi ke masjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Baihaqi dan Thabrani). berdasarkan hadits ini, maka wanita dibolehkan sholat di masjid, dan sholat di rumah adalah lebih baik baginya.
para wanita dibolehkan sholat di masjid dengan syarat:
1. ada izin dari suami.
Nabi saw bersabda: “jika istri-istrimu meminta izin ke masjid-masjid, maka izinkanlah mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Hibban)
2. tidak memakai wangi-wangian.
Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu melarang hamba Allah pergi ke masjid-masjid Allah, tetapi hendaklah mereka keluar tanpa wangi-wangian.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Darimi dan Baihaqi)
Nabi juga bersabda: “perempuan mana saja yang memakai wangi-wangian, kemudian ia pergi ke masjid, maka tidak diterima sholatnya sehingga dia mandi.” (HR. Ibnu Majah)
Mana yang lebih utama bagi wanita, sholat di masjid atau di rumah?
yang lebih utama adalah sholat di rumah, jika di lakukan berjama’ah, sebagaimana sabda Nabi saw: ” Sholat berjama’ah lebih utama daripada sholat sendiri dengan 27 derajat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan jika dilakukan tepat waktu. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, dia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw, amalan apakah yang paling dicintai Allah SWT?, beliau bersabda: Sholat tepat pada waktunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
jika sulit untuk tepat waktu di rumah, maka lebih baik sholat berjamaah di masjid agar tepat waktu.
wallahu a’lam
Saudaraku yang dimuliakan Allah swt…
Para ulama telah bersepakat bahwa shalat seorang laki-laki lebih utama dilakukan berjama’ah di masjid daripada di rumahnya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda,”Shalat berjama’ah itu lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Juga hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa telah datang seorang laki-laki buta menemui Nabi saw dan berkata,”Wahai Rasulullah aku tidak memiliki penuntun yang akan membawaku ke masjid.’ Ia meminta agar Rasulullah saw memberikan rukhshah (keringanan) kepadanya untuk melakukan shalat di rumahnya lalu Nabi saw memberikan rukhshah kepadanya. Namun tatkala orang itu berlalu maka beliau saw memanggilnya dan bertanya kepadanya,’Apakah kamu mendengar suara adzan untuk shalat?’ orang itu berkata,’ya.’ Beliau bersabda,’kalau begitu kamu harus menyambutnya (ke masjid).” (HR. Muslim) –(baca : “Mendengar Adzan Ketika Sedang Sibuk”)
Adapun bagi seorang wanita maka kehadirannya di masjid untuk melakukan shalat berjama’ah diperbolehkan bagi mereka yang sudah tua dan dimakruhkan bagi yang masih muda karena dikhawatirkan adanya fitnah. Untuk itu yang lebih utama baginya adalah melakukan shalat di rumahnya, demikian menurut DR. Wahbah.
Beberapa pendapat para ulama tentang permasalahan ini adalah :
1. Abu Hanifah dan dua orang sahabatnya mengatakan bahwa makruh bagi seorang wanita yang masih muda menghadiri shalat berjama’ah (di masjid) secara mutlak karena dikhawatirkan adanya fitnah. Abu Hanifah mengatakan bahwa tidak mengapa bagi seorang wanita yang sudah tua pergi ke masjid untuk shalat shubuh, maghrib dan isya karena nafsu syahwat bisa menimbulkan fitnah di waktu-waktu selain itu. Orang-orang fasiq tidur pada waktu shubuh dan isya kemudian mereka disibukan dengan makanan pada waktu maghrib. Sedangkan kedua orang sahabatnya membolehkan bagi seorang wanita yang sudah tua pergi ke masjid untuk melakukan semua shalat karena tidak ada fitnah didalamnya dikarenakan kecilnya keinginan (syahwat) seseorang terhadapnya.
Dan madzhab dikalangan para ulama belakangan adalah memakruhkan wanita menghadiri shalat jama’ah walaupun shalat jum’at secara mutlak meskipun ia seorang wanita tua pada malam hari dikarenakan sudah rusaknya zaman dan tampaknya berbagai kefasikan.
2. Para ulama Maliki mengatakan bahwa dibolehkan bagi seorang wanita dengan penuh kesucian dan tidak memikat kaum laki-laki untuk pergi ke masjid melakukan shalat berjama’ah, id, jenazah, istisqo (shalat meminta hujan), kusuf (shalat gerhana) sebagaimana dibolehkan bagi seorang wanita muda yang tidak menimbulkan fitnah pergi ke masjid (shalat berjama’ah) atau shalat jenazah kerabatnya. Adapun apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah maka tidak diperbolehkan baginya untuk pergi ke masjid secara mutlak.
3. Para ulama Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa makruh bagi para wanita yang cantik atau memiliki daya tarik baik ia adalah seorang wanita muda atau tua untuk pergi ke masjid shalat berjama’ah bersama kaum laki-laki karena hal itu merupakan sumber fitnah dan hendaklah ia shalat di rumahnya. Dan dibolehkan bagi para wanita yang tidak menarik untuk pergi ke masjid jika ia tidak mengenakan wangi-wangian dan atas izin suaminya meskipun sesungguhnya rumahnya lebih baik baginya, berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Janganlah engkau melarang para wanita itu pergi ke masjid meskipun rumah mereka lebih baik bagi mereka.” Didalam lafazh lainnya disebutkan,”Apabila para wanita kalian meminta izin kepada kalian pada waktu malam hari untuk ke masjid maka izinkanlah mereka.” (HR. Jama’ah kecuali Ibnu Majah) yaitu jika aman dari kerusakan (fitnah). Juga sabdanya saw,”Janganlah kamu melarang para wanita pergi ke masjid, hendaklah mereka keluar tanpa memakai wangi-wangian.” (HR. Ahmad, Abu daud dari Abu Hurairoh) dan dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Sebaik-baik masjid bagi kaum wanita adalah didalam rumahnya.” (HR. Ahmad)
Intinya adalah bahwa tidak dibolehkan bagi seorang wanita cantik (menarik) untuk pergi ke masjid dan dibolehkan bagi wanita yang sudah tua. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz II hal 1172 – 1173)
Wallahu A’lam

HUKUM WANITA MUSLIMAH MEMAKAI CELANA PANJANG DALAM ISLAM(ujian praktikum )

Musibah Wanita Muslimah Memakai Celana Panjang


Kita sudah mengetahui bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Itu berarti kaki dan betis wanita adalah aurat yang wajib ditutupi. Di antara syarat pakaian muslimah yang mesti dipenuhi adalah tidak membentuk lekuk tubuh. Nah, pakaian yang tidak memenuhi syarat ini adalah jika wanita berbusana celana panjang, apalagi ketat. Ditambah lagi pakaian celana panjang ini menyerupai pakaian pria. Inilah musibah yang pada wanita muslimah saat ini.
Tentang larangan wanita menyerupai pakaian pria di antara contohnya adalah memakai celana panjang. Pakaian tersebut menyerupai pakaian laki-laki dan terlarang berdasarkan hadits berikut,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَعَنَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لُبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لُبْسَةَ الرَّجُلِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang berpakaian wanita dan wanita yang berpakaian laki-laki.” (HR. Ahmad no. 8309, 14: 61. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim, perowinya tsiqoh termasuk perowi Bukhari Muslim selain Suhail bin Abi Sholih yang termasuk perowi Muslim saja).
Syaikh Abu Malik -semoga Allah senantiasa menjaga beliau dalam kebaikan-, penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah berkata, “Patokan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang saling tasyabbuh (menyerupai) satu dan lainnya bukan hanya kembali pada apa yang dipilih, disukai dan dijadikan kebiasaan wanita dan pria. Namun hal ini kembali pula pada maslahat pria maupun wanita. Yang maslahat bagi wanita adalah yang sesuai dengan yang diperintahkan yaitu wanita diperintahkan untuk menutupi diri tanpa boleh tabarruj atau menampakkan perhiasan diri. Jadi dalam larangan berpakaian pada wanita ada dua tujuan: (1) membedakan pria dan wanita, (2) menutupi diri wanita secara sempurna. Kedua maksud (tujuan) ini harus tercapai.” (Shahih Fiqh Sunnah, 3: 36).
Di halaman lain, Syaikh Abu Malik berkata, “Memakai celana panjang adalah sejelek-jelek musibah yang menimpa banyak wanita saat ini, semoga Allah memberi petunjuk pada mereka. Walaupun celana tersebut bisa menutupi aurat, namun ia bisa tetap menggoda dan membangkitkan syahwat, apalagi jika celana tersebut sampai bercorak. Sebagaimana telah diketahui bahwa di antara syarat jilbab syar’i adalah tidak sempit atau tidak membentuk lekuk tubuh. Sedangkan celana panjang sendiri adalah di antara pakaian yang mengundang syahwat, bahkan kadang celana tersebut sampai terlalu ketat. Ada juga celana yang warnanya seperti warna kulit sampai dikira wanita tidak memakai celana sama sekali. Ini sungguh perilaku yang tidak dibenarkan namun sudah tersebar luas. Oleh karena itu, tidak diperkenankan wanita memakai celana panjang.
Jika ia memakai celana semacam itu di hadapan suami -selama celananya tidak menyerupai pakaian pria-, maka tidak masalah. Namun tidak diperkenankan jika dipakai di hadapan mahrom lebih-lebih di hadapan pria non mahram.
Akan tetapi, tidak mengapa jika wanita mengenakan celana panjang di dalam pakaian luarnya yang tertutup. Karena memakai celana di bagian dalam seperti lebih menjaga dari terbukanya aurat lebih-lebih kalau naik kendaraan mobil. Wallahu a’lam.” (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 38).
Di antara dalil bahwasanya pakaian wanita tidak boleh ketat dan tidak membentuk lekuk tubuh adalah hadits berikut dari Usamah bin Zaid di mana ia pernah berkata,
كساني رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قبطية كثيفة كانت مما أهدى له دِحْيَةُ الكلبي فكسوتها امرأتي، فقال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : مالك لا تلبس القبطية؟ فقلت: يا رسول الله! كسوتها امرأتي، فقال: مرها أن تجعل تحتها غلالة فإني أخاف أن تصف حجم عظامها
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah memakaikanku baju Quthbiyyah yang tebal. Baju tersebut dulu dihadiahkan oleh Dihyah Al Kalbi kepada beliau. Lalu aku memakaikan baju itu kepada istriku. Suatu kala Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menanyakanku: ‘Kenapa baju Quthbiyyah-nya tidak engkau pakai?’. Kujawab, ‘Baju tersebut kupakaikan pada istriku wahai Rasulullah’. Beliau berkata, ‘Suruh ia memakai baju rangkap di dalamnya karena aku khawatir Quthbiyyah itu menggambarkan bentuk tulangnya’” (HR. Ahmad dengan sanad layyin, namun punya penguat dalam Sunan Abi Daud. Ringkasnya, derajat hadits ini hasan).
Jadi tidak cukup wanita itu menutup rambut dan kepalanya saja, juga mereka harus menutupi aurat dengan sempurna. Termasuk di dalamnya adalah tidak memakai pakaian ketat atau pakaian yang masih membentuk lekuk tubuh.
Semoga Allah memberi hidayah.

KEUTAMAAN PUASA SEBELUM IDUL ADHA(ujian praktikum)

Keutamaan Puasa Sunah sebelum Idul Adha
Puasa sebelum Idul Adha disebut juga dengan puasa Arafah. Karena dilakukan pada saat jutaan jemaah haji berkumpul melaksanakan wukuf di padang Arafah. Wukuf sendiri merupakan ibadah wajib karena merupakan bagian dari rukun haji yang
harus dipenuhi para calon haji.
Wukuf di Arafah yang merupakan puncak penyempurnaan ibadah haji dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan kalender Islam. Pada saat inilah umat muslim yang tidak melaksanakan wukuf dianjurkan untuk berpuasa, termasuk kita yang berada di tanah air.
Hadits puasa sebelum Idul Adha
Puasa sebelum idul adha adalah ibadah yang sangat dianjukan oleh Rasulullah Saw. Bagi kaum muslimin puasa satu hari sebelum lebaran haji ini, hukumnya sunnah muakkad (sangat ditekankan). Artinya, meskipun puasa sebelum hari raya qurban ini bersifat sunnah, namun demikian sangat-sangat dianjurkan dan diutamakan untuk dilaksanakan.
Bagi mereka yang menunaikan ibadah puasa Arafah akan didoakan Nabi Muhammad Saw agar Allah menghapus dosa-dosanya selama dua tahun, yakni; satu tahun sebelum dan satu tahun sesudah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Saw yang artinya: Puasa satu hari Arafah, aku berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya. Puasa hari ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram), aku berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya.” (HR. Muslim, no 1162, dari Abu Qatadah).
Dari Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam pernah ditanya tentang puasa pada hari ‘Arafah, beliau bersabda: “Ia (Puasa ‘Arafah itu) menggugurkan dosa-dosa satu tahun sebelumnya dan setelahnya.” (HR. Muslim 1162)
Tidak makan dan tidak minum juga dilakukan Rasulullah Saw sebelum melaksanakan sholat Idul Adha di lapangan. Ini adalah kebiasaan Nabi Saw seperti yang tertuang dalam hadits berikut: Jika sebelum berangkat shalat Idul Fitri Rasulullah SAW sarapan dahulu maka sebelum shalat Idul Adha, Rasul tidak sarapan dan beliau baru makan sepulang melaksanakan shalat (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)
-UMAR-

BOLEHKAN WANITA MENYANYI DALAM ISLAM(ujian praktikum)

Bolehkah wanita menyanyi atau bernasyid di depan lelaki

 

. Posted in Soal Fiqh

Assalamualaikum,
Ustazah, saya ingin bertanya tentang hukum wanita Islam menyanyi atau bernasyid di dalam majlis yang dihadiri oleh pendengar lelaki. Begitu juga jika wanita itu membuat rakaman lagu dan didengari oleh penggemar lelaki.
Harap dapat dijelaskan hukumnya.                                                   

Ustazah Shahidah Sheikh Ahmad
Jawapan
Menjadi lumrah manusia memiliki jiwa seni yang sangat meminati muzik dan nyanyian sebagai satu media untuk menghiburkan hati, melepaskan lelah bahkan menghilangkan tekanan jiwa.
Lebih-lebih lagi muda mudi juga amat meminati muzik dan lagu. Walau bagaimanapun, akhir-akhir ini, atas kesedaran Islam muda-mudi Islam mengalihkan minat itu kepada dendangan lagu-lagu nashid yang liriknya membawa kepada kebaikan dan kesedaran agama.

Tidak dapat dinafikan, banyak juga nasyid-nasyid ini yang dilihat menyimpang dari landasan asal lalu sifat komersialnya melebihi nasihatnya. Liriknya yang asalnya membawa kepada nasihat agama mulai bertukar kepada puja-puji wanita dan kekasih. Bezanya dengan lagu pop rock, biasa hanyalah kerana ia diadun sedikit dengan menyebut nama-nama Allah sekali sekala, kalimah Islam atau apa-apa elemen Islam.
 
Untuk menjawab persoalan ini kita perlu meneliti persoalan pokok yang  menjadi asas perbincangan ulama’ iaitu persoalan hukum suara wanita, adakah aurat atau tidak aurat.
 Sebenarnya suara  wanita kalau mengikut Ulama’ Muktabar termasuk Al Imam An Nawawi, ianya tidak aurat.
Maksudnya di sini kebanyakan ulama’ mengatakan suara wanita dalam percakapan biasa di hadapan lelaki bukan mahramnya  tidaklah aurat. Namun begitu, ada juga yang menyatakan aurat .
Yang menjadi persoalannya di sini ialah suara wanita yang dilunak-lunakkan seperti dalam nyanyian,nasyid atau percakapan yang dilunakkan, adakah ia aurat atau bukan aurat, harus atau haram.
 Di sana terdapat dua pendapat ulama’.
Pendapat  pertama dari Imam Al Suddi, Ibnu Manzur, Ibnu Athir mengatakan ianya adalah aurat, yaitu apabila wanita menggunakan suara untuk menyanyi, bernasyid atau melunakkannya di hadapan lelaki bukan mahramnya.

Dalil mereka adalah berdasarkan firman  Allah SWT yang  memberi amaran kepada kita tentang suara wanita(bermaksud):

“Maka janganlah kamu wahai wanita, merendahkan (melunakkan) suaramu maka dibimbangi orang yang berpenyakit di hatinya beringinan jahat kepadamu, maka bercakaplah hanya dengan kata-kata yang baik (kandungan dan tatacaranya)" (Al-Ahzab : 32)

Para ulama tafsir menyebut, suara wanita yang dilagukan adalah termasuk dari kecantikan-kecantikan (yang tidak harus dipertonton dan diperdengarkan kepada lelaki bukan mahram) tiada khilaf dalam hal ini ( Adwa al-Bayan, 5/10 : At-Tashil Li Ulum At-Tanzil, 3/137 ; )
Imam As-Suddi berkata : Ini bermaksud kaum wanita tidak boleh melunakkan suaranya (lembut  dan manja) apabila bercakap di hadapan khalayak lelaki.

Imam Qurtubi pula mengatakan, kerana suara yang sebegini akan menjadikan orang-orang lelaki munafiq dan ahli maksiat berfikir jahat (Tafsir Ibn Kathir, 3/483 ; Al-Jami' Li Ahkam Al-Quran, 14/177)
Yang dilembutkan dengan sengaja, dimanjakan dan dimerdukan. Ianya adalah diharamkan untuk diperdengarkan kepada khalayak lelaki secara Ijma' selama-lamanya. ( An-Nihayah, Ibn Athir, 42/2 ; Lisan al-Arab, Ibn Manzur , 73/8 ; Hasiyah At-Tohawi ; 1/161)

Berdasarkan dalil ayat serta pendapat ualama yang dikemukakan ini, apa yang boleh saya fahami adalah nyanyian wanita juga tergolong dalam bab yang diharamkan oleh Islam apabila ia diperdengarkan kepada lelaki yang bukan mahram. Adapun jika ia dinyanyikan oleh kanak-kanak perempuan yang belum baligh atau ia dinyanyikan khas untuk para wanita, ia adalah dibenarkan.
Maka kumpulan penyanyi wanita hari ini termasuk di dalam kumpulan yang  diharamkan Allah. Malah bukan sekadar ‘illah (alasan) suara sahaja yang boleh menjadikan mereka tercebur dalam perkara haram, malah pakaian dan pergerakkan mereka di khalayak awam juga.

Kebiasaannya apabila persembahan dibuat, mereka kerap bersolek-solekan dengan pakaian yang canggih, ketat dan tudung juga tidak menutup dadanya dengan baik.

Di samping itu, duduk pula di atas pentas menjadi tontotan lelaki, jika para ulama semasa menghukumkan haramnya bersanding pengantin di atas pentas dalam keadaan senyap tanpa berkata-kata, apatah lagi  penyanyi atau penasyid  wanita yang bersolek adakala seperti pengantin ini dan melentuk-lentuk tubuh dan suaranya di hadapan lelaki bukan mahram, sudah tentu haramnya lebih besar. Dengan pakaian yang menjolok mata ditambah ketat, perkara ini menjadi suatu fitnah kepada umat Islam.

Selain itu juga, hukum memberi sokongan dan menaja penyanyi wanita adalah haram malah dilaknat Allah dan Rasulullah saw. Ini berdasarkan kepada sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi: “Laknatlah penyanyi perempuan dan kepada siapa mereka perdengarkan nyanyian (pendengar)”.

Rasulullah juga menyatakan bahawa petanda kepada kiamat adalah berleluasanya penyanyi dan penari wanita yang tidak mempunyai perasan malu dan aib kepada lelaki.
Pendapat yang kedua pula mengatakan harus.
Ini adalah pandangan Dr. Yusuf Al Qardhawi dan Dr. Abdul Karim Zaidan di mana mereka berdua menyatakan harus wanita menyanyi di khalayak ramai asalkan mereka menjaga adab-adab iaitu menutup aurat dan tidak menggerakkan badan yang boleh mendatangkan fitnah.
Hujah mereka ialah Nabi saw pernah membiarkan hamba wanita menyanyi sedangkan pada masa itu Abu Bakar r.a menegur Aisyah dengan berkata, suara syaitan apa ini?  Namun Nabi  SAW membiarkan sahaja Aisyah menonton persembahan itu tanpa melarangnya. Ini menunjukkan Nabi SAW membenarkan wanita menyanyi di khalayak lelaki.
Saya memetik pandangan seorang ulama’:
”Dalam konteks dakwah, ada ulama’ yang berpandangan tidak salahnya kalau dibenarkan wanita menyanyi di khalayak ramai. Kerana dibimbangi sekiranya kita terlalu ‘ketat’ dalam masalah begini maka ia akan merugikan Islam dan dakwah Islam sekaligus menjadikan Islam kelihatan bukan satu Ad Din yang meraikan naluri manusia dengan memandu naluri manusia mengikut acuan Islam.
Naluri manusia terutama anak muda ialah mereka mahukan hiburan. Jadi kita kena kemukakan bentuk hiburan mengikut acuan Islam. Jangan kita asyik bantah dan sekat program hiburan.
Kita hendaklah memandu bukannya menghukum. Kita kena bawa Islam kepada masyarakat mengikut kemampuan mereka dengan mengambil kira kelemahan umat di akhir zaman ini”.
Demikian pendapat seorang ulama’ kita.
Namun, apa yang penting hendaklah dijaga beberapa syarat , pertama mereka mesti menjaga adab-adab iaitu menutup aurat. Kedua tidak menggerakkan badan yang boleh mendatangkan fitnah. Ketiga, tidak bersolek dan berpakaian sempurna seperti yang dituntut ke atas wanita muslimah. Selain itu hendaklah dipastikan suasana majlis tiada percampuran antara lelaki dan perempuan bukan mahram.
Dan atas nama dakwah juga majlis/pertunjukan itu hendaklah digunakan untuk berdakwah kepada golongan yang hanya pergi majlis hiburan sahaja, tidak pergi masjid, surau dan majlis ilmu untuk mengaji ilmu agama, dengan menyelitkan sedikit tazkirah dan zikir kepada Allah dengan menyatakan kelebihan-kelebihannya kepada mereka . Peluang ini perlu digunakan sebaik mungkin untuk memberi kefahaman kepada mereka tentang Islam yang syumul. Dengan harapan mudah-mudahan akan terbuka hati mereka untuk mendekati Islam,mengkaji dan seterusnya menjadi orang soleh dan solehah serta meninggalkan maksiat pada satu hari nanti. 
 Demikianlah perbahasan kita dalam persoalan yang dikemukan.
 Kesimpulannya   ada 2 pendapat ulama’ tentang wanita yang menyanyikan atau bernasyid dikhalayak ramai. Satu pendapat mengatakan ia adalah suatu perkara haram . Manakala, pihak yang terlibat juga mendapat saham dosa.
Sementara ada pendapat ulama’ yang mengatakan ianya harus dengan memberi syarat-syarat yang ketat dalam pelaksanaannya dan hendaklah dipastikan ianya atas tujuan dakwah bukan dengan tujuan hiburan semata-mata.
Jadi kita boleh memilih mana satu pendapat yang kita suka, dengan melihat kepada kepentingan atau keadaan tertentu, tapi kena tanyalah pada iman kita jangan tanya pada selera kita.

WALLAHU A’LAM

Mengapa Gencar Meminta Maaf Saat Ramadhan Baru Datang?(ujian praktikum)

Mengapa Gencar Meminta Maaf Saat Ramadhan Baru Datang?

Bulan suci Ramadhan 1432 H sebentar lagi insya Allah akan kita masuki. Tentu banyak persiapan yang kita lakukan untuk menyambut bulan tersebut, seperti mempersiapkan daftar menu sahur dan berbuka khususnya bagi para ibu rumah tangga, sampai mempersiapkan fisik yang bugar dan juga tentunya telah jauh-jauh hari telah melakukan “Pemanasan amaliyah” agar lancar ketika beramal ibadah yang wajib maupun yang sunnah di bulan Ramadhan nanti.
Dalam persiapan yang saya sebutkan di atas, tentu sudah merupakan hal yang lumrah. Namun yang menjadi persoalan selanjutnya adalah adanya sebuah “persiapan” lain yang juga dilakukan bahkan terkesan menjadi wajib hukumnya setiap mau memasuki bulan Ramadhan, yakni saling meminta maaf terhadap kerabat ataupun rekan kerja, teman sepermainan, pun terjadi di kalangan aktivis dakwah.
Salahkah saling meminta maaf? Tentu tidak. Manusia memang adalah tempatnya berbuat khilaf, jadi sudah selayaknya saling meminta maaf.
Nabi SAW bersabda : “Siapa yang merasa pernah berbuat aniaya kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan atau harta atau lain-lainnya, hendaknya segera meminta halal (maaf) nya sekarang juga, sebelum datang suatu hari yang tiada harta dan dinar atau dirham, jika ia punya amal shalih, maka akan diambil menurut penganiayannya, dan jika tidak mempunyai hasanat (kebaikan), maka diambilkan dari kejahatan orang yang dia aniaya untuk ditanggungkan kepadanya.” [HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a]
Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih)
Namun yang menjadi persoalan adalah jika meminta maaf itu menjadi ritual setiap tahun satu kali yakni menjelang memasuki bulan Ramadhan.
Jika perbuatan itu menjadi ritual tahunan dan juga menjadi sebuah keyakinan dalam beramal maka tentu saja perbuatan itu harus dibarengi dengan dalil seputar amal, karena sebuah ibadah harus dikerjakan dengan tuntunan syariah Islam, jika tidak maka amalan itu akan tertolak. Sebagaimana rasulullah saw bersabda :
“Barangsiapa yang membuat-buat sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal daripadanya, maka semua itu tertolak.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah)
Memang ada dalil (yang di duga dalil) yang juga sering di sertakan oleh orang-orang yang melakukan ritual meminta maaf sebelum ramadhan tersebut, yakni yang berbunyi :
Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada Shalat Jum’at (dalam bulan Sya’ban), beliau mengatakan Amin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan Amin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan Amin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Amin sampai tiga kali. Ketika selesai shalat Jum’at, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan: “ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasullullah Amin-kan do’a ku ini,” jawab Rasullullah.
Do’a Malaikat Jibril itu adalah:
“Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
  1. Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
  2. Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri;
  3. Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.
Namun yang menjadi persoalan adalah, mereka yang sering memforward hadist ini tidak pernah mengikutsertakan perawinya. Yang berarti menunjukan bahwa teks hadist di atas adalah hadist yang hanya sering di share setiap mau memasuki bulan Ramadhan, padahal sebuah hadist harus ada perawi yang disebutkan guna mengetahui sahih ataukah dhaif hadist itu atau bahkan terkategori hadist palsu.
Entah siapa orang yang menjadi Trendsetter sehingga sekarang telah berhasil memililki follower dengan ritual tahunan ini.
Memang ada hadist yang mirip dengan hadist di atas, namun isinya sangat berbeda, walaupun masih menjelaskan seputar ramadhan. Dan hadist ini memiliki perawi, tidak seperti hadist di atas.
Untuk lebih jelasnya, makna hadits tersebut bisa anda baca salinan dibawah ini.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga, (bahwasanya) Rasulullah SAW pernah naik mimbar kemudian berkata : Amin, Amin, Amin" Ditanyakan kepadanya : "Ya Rasulullah, engkau naik mimbar kemudian mengucapkan Amin, Amin, Amin?" Beliau bersabda. "Artinya : Sesungguhnya Jibril ‘Alaihis salam datang kepadaku, dia berkata : "Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tapi tidak diampuni dosanya maka akan masuk neraka dan akan Allah jauhkan dia, katakan "Amin", maka akupun mengucapkan Amin…."
[Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/192 dan Ahmad 2/246 dan 254 dan Al-Baihaqi 4/204 dari jalan Abu Hurairah. Hadits ini shahih, asalnya terdapat dalam Shahih Muslim 4/1978. Dalam bab ini banyak hadits dari beberapa orang sahabat, lihatlah dalam Fadhailu Syahri Ramadhan hal.25-34 karya Ibnu Syahin]. Disalin dari Sifat Puasa Nabi SAW, hal. 27-28, Pustaka Al-Haura.
Yang lebih lengkap lagi dari buku Birrul Walidain oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal. 44-45 terbitan Darul Qalam
"Artinya : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar kemudian berkata, "Amin, amin, amin". Para sahabat bertanya. "Kenapa engkau berkata ‘Amin, amin, amin, Ya Rasulullah?" Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Telah datang malaikat Jibril dan ia berkata : ‘Hai Muhammad celaka seseorang yang jika disebut nama engkau namun dia tidak bershalawat kepadamu dan katakanlah amin!’ maka kukatakan, ‘Amin’, kemudian Jibril berkata lagi, ‘Celaka seseorang yang masuk bulan Ramadhan tetapi keluar dari bulan Ramadhan tidak diampuni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin!’, maka aku berkata : ‘Amin’. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi. ‘Celaka seseorang yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya masih hidup tetapi justru tidak memasukkan dia ke surga dan katakanlah amin!’ maka kukatakan, ‘Amin". [Hadits Riwayat Bazzar dalama Majma’uz Zawaid 10/1675-166, Hakim 4/153 dishahihkannya dan disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi dari Ka’ab bin Ujrah, diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 644 (Shahih Al-Adabul Mufrad No. 500 dari Jabir bin Abdillah)]
Dengan demikian, hadist diatas tidak ada hubungan dengan keharusan bermaafan sebelum puasa Ramadhan.
Sebagaimana yang saya katakan di atas, meminta maaf itu memang sebuah kewajiban, terlebih lagi jika kita memang memiliki kesalahan terhadap orang lain, namun bukan berati harus menjadi ritual tahunan ketika mau memasuki bulan Ramadhan. Mengapa tidak meminta maaf sebelum mau datang Ramadhan saja, apakah meminta maaf yang dilakukan ketika mau memasuki bulan Ramadhan bukan didasari niat yang ikhlas mau meminta maaf kepada orang yang kita memiliki salah dengannya? Karena hanya takut puasanya tidak diterima oleh Allah swt dengan berhujjah pada hadist yang tidak jelas sumbernya itu, bukan karena takut dengan dosa karena tidak dimaafkan?
Selain itu, kesalahan yang tidak sengaja atau tidak disadari tidak dihitung sebagai dosa di sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
“Sesungguhnya Allah telah memaafkan ummatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)
Sehingga, perbuatan meminta maaf kepada semua orang tanpa sebab bisa terjerumus pada ghuluw (berlebihan) dalam beragama.
Khatimah
Meminta maaf itu bisa dilakukan kapan dan dimana saja, jika merasa punya salah dan menyakiti hati orang lain maka bersegeralah kita meminta maaf, tidak perlu menunggu datangnya bulan Ramadhan, sehingga seolah ketika mau memasuki bulan Ramadhan barulah berlomba-lomba meminta maaf, padahal itu bukan ibadah yang Islam ajarkan. Sehingga mengkhususkan suatu waktu untuk meminta maaf dan dikerjakan secara rutin setiap tahun tidak dibenarkan dalam Islam dan bukan ajaran Islam.
Wallahu A’lam.
Adi Victoria
Al_ikhwan1924@yahoo.com

Ahlan Wa Sahlan Ya Ramadhan
Selamat menjalankan ibadah shaum Ramadhan 1432 H
Semoga semakin meningkatkan kadar keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah swt
Semakin memperkokoh ghirah juang untuk tegaknya kehidupan Islam
Sehingga Izzah islam wal muslimin kembali terwujud. Amin

Copyright @ 2013 chindy sukma.