APA SIH ARTI SEBUAH NAMA : Kapan Waktu Memberi Nama Anak, Nama-nama
yang Disunnahkan, Nama-nama yang Dimakruhkan & Diharamkan Dalam
Islam
Suatu kenyataan yang memprihatinkan bahwa sebagian kaum
muslimin diliputi perasaan minder dan malu untuk memberi nama anaknya
dengan nama Islami.
Sebagian lagi masih mempunyai semangat
keislaman yang cukup sehingga memberi nama anaknya dengan nama yang
sudah ‘dianggap’ Islami. Namun disayangkan, pada hakikatnya nama mereka
belum sesuai dengan adab Islami. Contohnya nama “ ‘Abdurrasul Syihab
Saifullah” atau “Fathin Nadiyah Rahmatullah” yang mungkin dianggap
sebagai nama Islami yang bagus dan indah, tetapi ternyata nama ini
bermasalah, dengan beberapa kekeliruan di dalamnya.
Sesungguhnya,
metode penamaan anak tidak cukup hanya didasari perasaan subyektif
bahwa nama itu indah, baik atau bagus semata, tetapi yang benar adalah
nama yang sesuai dengan tuntunan syari’at.
Berikut ini etika dan
hukum-hukum seputar pemberian nama yang sebagian besar pembahasannya
kami sarikan dari Kitab “Tasmiyatul Maulud” karya Syaikh Bakr Abu Zaid
rahimahullah. Semoga bermanfaat bagi diri kami pribadi dan juga kaum
muslimin.
PENDAHULUAN
Sesungguhnya nama merupakan
identitas seseorang, bukti atas dirinya, serta merupakan kebutuhan yang
sangat urgen dalam memahami dirinya di saat bersamanya, atau saat
bersikap kepadanya. Bagi seorang anak, nama merupakan sebuah perhiasan
dan syi’ar yang dengannya ia akan diseru di dunia maupun di akhirat.
Nama merupakan bentuk pujian terhadap agama dan pertanda bahwa ia
termasuk pemeluknya. Lihatlah seseorang yang masuk ke dalam dinul Islam,
bagaimana ia mengubah namanya menjadi nama syar’i, tidak lain karena
nama merupakan syi’ar baginya. Nama juga merupakan tanda yang dapat
mengungkap identitas orang tuanya dan alat pengukur terhadap pemahaman
diennya.
HUKUM PEMBERIAN NAMA
Allah subhanahu wa ta’ala
menuntunkan kepada keturunan Adam untuk memberikan nama pada anak,
sebagaimana Allah telah memberi nama “Yahya” kepada putra Nabi Zakariyya
‘alaihis salam yang akan dilahirkan. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلاَمٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
“Hai Zakariyya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan
(beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum
pernah menciptakan orang serupa dengannya.” (QS Maryam: 7)
Ibnu
Hazm dalam Maratibul Ijma’ mengatakan bahwa para ulama bersepakat atas
wajibnya memberikan nama, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Anak yang tidak memiliki nama tidak akan dikenal (majhul) dan
tersamarkan dengan yang lainnya, tidak bisa dibedakan, karena nama
berfungsi untuk menentukan, membedakan, dan mengenali si anak.
Pentingnya nama antara lain:
1. Nama adalah hal pertama yang diperuntukkan bagi anak ketika ia keluar dari kegelapan rahim
2. Nama adalah sifat pertama yang membedakannya dengan sesama jenisnya
3. Nama adalah hal pertama yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap
anaknya, yang memiliki hubungan sifat pewarisan dan keturunan
4. Nama adalah bekal bagi seorang anak untuk masuk ke tengah-tengah masyarakat.
WAKTU PEMBERIAN NAMA
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa waktu pemberian nama itu ada 3 macam:
1. Memberinya nama pada hari kelahirannya
2. Memberinya nama pada hari ketiga dari kelahirannya
3. Memberinya nama pada hari ketujuh dari kelahirannya.
Perbedaan ini hanya bersifat ikhtilaf tanawwu’ (perselisihan yang bisa
ditoleransi) yang menunjukkan bahwa dalam persoalan ini ada
kelonggarannya.
YANG BERHAK MEMBERI NAMA
Tidak ada
perselisihan bahwa sang ayah adalah orang yang paling berhak untuk
menamai anaknya. Jika seorang ayah berbeda pendapat dengan seorang ibu
dalam menentukan nama untuk anaknya, maka ayahlah sebagai pihak yang
diutamakan.
Berdasarkan hal tersebut, maka seorang ibu hendaknya
tidak membantah dan menyelisihi. Sementara dalam musyawarah antara kedua
orang tua terdapat suatu kesempatan yang luas untuk saling meridhai,
berlemah-lembut, dan memperkokoh tali hubungan antarkeluarga.
Sebagaimana telah diriwayatkan dengan shahih dari sekelompok sahabat
radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka biasa menyodorkan putra-putri mereka
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau berkenan memberikan
nama. Hal ini menunjukkan bahwa seorang ayah hendaknya bermusyawarah
dalam memberikan nama dengan seorang ulama yang mengetahui tentang
sunnah atau ahlus sunnah yang terpercaya dalam dien dan ilmunya agar
menunjukkan kepadanya sebuah nama yang baik bagi anaknya.
NISBAH ANAK
Sebagaimana pemberian nama adalah hak bagi seorang ayah, maka seorang
anak juga dinisbahkan (disandarkan) kepada ayahnya, bukan kepada ibunya,
dan dia dipanggil dengan nama ayahnya, bukan dengan nama ibunya. Maka
dalam penulisan nama, biasa disebut “fulan bin fulan”, dan bukan
dipanggil “fulan bin fulanah”.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ادْعُوهُمْ ِلآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah…” (QS Al
Ahzab: 5)
Namun ada kenyataan bahwa terjadi penghilangan lafazh
“ibnu” pada nama fulan ibnu fulan dan ini mulai menyebar di kalangan
kaum muslimin pada abad 14 Hijriyah, sehingga mereka mengatakan,
misalnya Muhammad ‘Abdullah.
Ini merupakan uslub (tata bahasa)
yang dibuat-buat, asing, tidak dikenal oleh bangsa Arab, dan tidak
sesuai dengan lisan mereka, bahkan tidak memiliki kedudukan dalam tata
bahasa Arab (I’rob).
Apakah dunia telah mendengar seseorang yang menyebut nasab Nabi dengan mengatakan Muhammad ‘Abdullah?
Lihatlah bagaimana penghilangan (lafazh ibnu) ini telah mengundang
kesamaran ketika disatukan antara nama laki-laki dengan nama perempuan,
sebagai contoh Asma’ dan Kharijah. Nama ini tidak akan jelas di atas
kertas, kecuali dengan menyambungkan nasab dengan lafazh “ibnu” fulan
atau “binti” fulan.
Terdapat pula kekeliruan para istri yang
menisbahkan namanya kepada suami. Misalnya istri bernama Fathimah bin
‘Abdullah, setelah menikah dengan Ahmad maka ia menisbahkan namanya
menjadi Fathimah Ahmad. Ini banyak dijumpai pada masyarakat umum.
NAMA-NAMA YANG DISUNNAHKAN DAN DIPERBOLEHKAN
Urutan dan tingkatan nama-nama yang disunnahkan dan diperbolehkan adalah sebagai berikut:
1. ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman
Disunnahkan memberi nama dengan dua nama yakni ‘Abdullah (hamba Allah)
dan ‘Abdurrahman (hambanya Yang Maha Pengasih), sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ أَحَبَّ اْلأَسْمَاءِ إِلَى اللهِ عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ
“Sesungguhnya nama yang paling dicintai oleh Allah adalah ‘Abdullah dan
‘Abdurrahman.” (HR Muslim, Abu Dawud dan selainnya dari Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhu)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri juga telah menamai putra pamannya—‘Abbas radhiyallahu ‘anhu—dengan nama ‘Abdullah.
Di kalangan para sahabat ada sekitar 300 orang yang semuanya bernama
‘Abdullah. Begitu pula bayi pertama yang lahir dari kalangan kaum
Muhajirin setelah hijrah ke Madinah adalah bernama ‘Abdullah bin Zubair
radhiyallahu ‘anhu.
2. ‘Abdu dari Asmaul Husna
Disunnahkan
memberi nama dengan ta’bid (memakai lafazh ‘abdu) dengan nama-nama
Allah yang baik (asmaul husna), seperti ‘Abdul Aziz (hambanya Yang Maha
Mulia), ‘Abdul Malik (hambanya Yang Maha menguasai), dan lain-lain.
3. Nama-nama Nabi dan Rasul
Para nabi dan rasul Allah subhanahu wa ta’ala merupakan pemimpin anak
Adam. Akhlaq mereka merupakan semulia-mulia akhlaq dan amalan mereka
merupakan amalan yang paling suci sehingga bila menamai dengan nama
mereka akan mengingatkan kita pada kemuliaan mereka.
Ulama telah
bersepakat akan bolehnya memberi nama dengan nama mereka. (Syarhu Muslim
oleh Imam Nawawi 8/437 dan lihat Maratibul Ijma’ hlm. 154-155)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri menamakan salah seorang anaknya dengan nama Nabi, sebagaimana sabda beliau:
وُلِدَلِي اللَّيْلَةَ غُلاَمُ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي إِبْرَاهِيْمَ
“Semalam telah lahir untukku seorang anak laki-laki, maka aku beri nama
dengan nama moyangku, Ibrahim.” (HR Muslim dari Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu)
Yang paling afdhol dari nama para nabi adalah
nama nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hal ini
beliau bersabda:
سَمُّوا بِاسْمِي وَلاَ تَكْتَنُوا بِكُنْيَتِي
“Namailah oleh kalian dengan namaku dan jangan berkunyah dengan
kun-yahku.” (Hadits riwayat Al Bukhari 10/571-Fathul Bari, Muslim
14/359-Syarhun Nawawi, Abu Dawud 4965, Tirmidzi 2841, dll)
4. Nama-nama Orang Shalih
Al Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda:
إِنَّهُمْ كَانُوْا يُسَمُّوْنَ بِأَنْبِيَائِهِمْ وَالصَّالِحِيْنَ قَبْلَهُمْ
“Sesungguhnya mereka (umat-umat terdahulu) menamakan dengan nama para
nabi mereka dan orang-orang shalih sebelum mereka.” (HR Muslim)
Seorang sahabat bernama Zubair bin Al ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu
menamakan anak laki-lakinya yang berjumlah 9 orang dengan nama para
syuhada. Mereka adalah:
a) ‘Abdullah (diambil dari nama ‘Abdullah bin Jahsy, syahid dalam Perang Uhud)
b) Al Mundzir (diambil dari nama Al Mundzir bin ‘Amr Al Anshari)
c) ‘Urwah (diambil dari nama ‘Urwah bin Mad’ud Ats Tsaqafi)
d) Hamzah (diambil dari nama Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, syahid dalam Perang Uhud)
e) Ja’far (diambil dari nama Ja’far bin Abi Thalib, syahid dalam Perang Mu’tah)
f) Mush’ab (diambil dari nama Mush’ab bin ‘Umair, pembawa bendera dan syahid dalam Perang Uhud)
g) ‘Ubaidah (diambil dari nama ‘Ubaidah bin Al Harits, syahid dalam Perang Badr)
h) Khalid (diambil dari nama Khalid bin Sa’id)
i) ‘Umar (diambil dari nama ‘Umar bin Sa’id, saudara Khalid bin Sa’id terbunuh dalam Perang Yarmuk).
Demikian pula, dapat ditemukan di kalangan kaum muslimin ada seseorang
yang menamai anak-anaknya dengan nama-nama Khulafaur Rasyidin
radhiyallahu ‘anhum yaitu Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali. Nama para
sahabat Nabi antara lain: ‘Ammar, ‘Amr, Bilal, Hudzaifah, Jabir,
Mu’awiyah, Salman, Sufyan, ‘Ukkasyah, Ubay. Nama para ulama seperti Al
Fudhail, Syu’bah, Hammad, ‘Ubaid.
Dan ada pula yang menamai
anak-anak perempuannya dengan nama-nama para ummahatul mu’minin,
istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni: Khadijah, Saudah,
‘Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Zainab, Shafiyyah,
Juwairiyah, Maimunah. Juga putri Nabi: Fathimah, Zainab, Ruqayyah, Ummu
Kultsum. Banyak pula para shahabiyah seperti Asma’, Sumayyah, Ummu
Sulaim, Ummu Waraqah, Asy Syifa’, Ummu Hakim, Ummu Aiman, Hindun, Ummu
Syarik, Ummu Fadhl, Ar Ruba’i, Khansa’, Khaulah, Ummu Rumman, Ummu
Umarah, Ummu Mahjan, dan lain-lain
5. Nama-nama yang Sifatnya Benar
Nama anak dinilai mengandung sifat syar’i jika memenuhi dua syarat berikut ini:
Pertama, nama tersebut berasal dari bahasa Arab, sehingga tidak
termasuk di dalamnya setiap nama ‘ajam (asing/non Arab), campuran,
ataupun diserap ke dalam lisan Arab.
Kedua, nama tersebut baik
maknanya secara bahasa dan syar’i, sehingga tidak boleh menamai dengan
nama-nama yang mengandung unsur tazkiyyah (menganggap dirinya suci),
celaan ataupun cercaan. Contoh nama yang mengandung tazkiyyah: Aflah
(yang paling berhasil), Rabbah (yang paling beruntung), Yassar (yang
paling mudah), Muthi’ah (perempuan yang taat). Contoh nama yang
mengandung celaan: ‘Ashiyah (wanita yang bermaksiat).
ADAB PEMBERIAN NAMA
Nama memiliki sejumlah adab sebagai berikut:
1. Bersungguh-sungguh untuk memilih nama yang paling dicintai
2. Memperhatikan sedikitnya huruf seoptimal mungkin
3. Memperhatikan ringannya untuk diucapkan oleh lisan
4. Memperhatikan pemberian nama yang cepat menghujam dalam pendengaran seseorang
5. Memperhatikan kesesuaian
NAMA-NAMA YANG DIHARAMKAN
Syari’at telah mengharamkan pemberian nama dengan salah satu dari bentuk penamaan di bawah ini:
1. Nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah subhanahu wa
ta’ala, seperti nama ‘Abdur Rasul (hambanya rasul), ‘Abdu Ali (hambanya
Ali), ‘Abdul Husain (hambanya Al Husain), ‘Abdusy Syams (hambanya
matahari), dan lain-lain.
2. Nama-nama yang khusus untuk Allah tabaraka wa ta’ala seperti Ar Rahman, Ar Rahim, Al Khaliq, Al Bari’, dan lain-lain.
3. Nama-nama ‘ajam (selain Arab) yang biasa digunakan oleh orang-orang
kafir seperti nama Petrus, George, Diana, Rosa, Suzan, Steven, dan
semisalnya. Ini merupakan taqlid (ikut-ikutan/membebek) kepada orang
kafir yang bila disertai keyakinan bahwa nama-nama mereka lebih baik
daripada nama-nama kaum muslimin maka ini merupakan bahaya yang besar
yang dapat menggelincirkan pokok keimanan.
4. Nama-nama berhala seperti Latta, ‘Uzza, Isaf, Nailah, dan Hubal.
5. Nama-nama ‘ajam dari Turki, Persia (Iran), Barbar atau selainnya
yang tidak sesuai dengan bahasa Arab dan lisannya, di antaranya Nariman,
Syerehan, Nevin, Syeirin, Syadi, dan Jihan.
6. Nama yang
mengandung klaim terhadap apa yang tidak ada pada si penyandang nama,
seperti Malakul Amlak (raja diraja), Sulthanus Salathin (sultan segala
sultan), Hakimul Hukkam (hakim segala hakim), Sayyidun Nas (pemimpin
seluruh manusia), Sittun Nisa’ (penghulu seluruh wanita).
7. Nama-nama syaithan seperti Hinzab, Al Walhan, Al ‘Awar, Al Ajda.
NAMA-NAMA YANG DIMAKRUHKAN
Berikut ini beberapa nama yang dimakruhkan atau tidak disukai penggunaannya:
1. Nama yang menyebabkan hati cenderung untuk menjauh darinya karena
makna yang terkandung padanya seperti Harb (perang), Murroh (pahit),
Khonjar (pisau besar), Fadhih (membuka aibnya), Fahith (terancam
bahaya), Nadiyah (jauh dari air), dan lain-lain.
2. Nama yang
mengundang syahwat yang banyak digunakan pada perempuan, di antaranya
Ahlam (lamunan), Arij (perempuan yang semerbak baunya), ‘Abir (perempuan
yang harum baunya), Ghodah (perempuan yang lemah-gemulai/genit), Fathin
(pembuat fitnah), dan Syadiyah (penyanyi).
3. Nama kaum fasiq yang kosong hatinya dari kemuliaan iman, seperti nama para artis, penyanyi, pelawak.
4. Nama yang menunjukkan atas dosa dan maksiat seperti nama Zhalim bin Sarraq (Zhalim bin pencuri).
5. Nama-nama tokoh kekafiran seperti Fir’aun, Qarun, Haman.
6. Nama yang dibenci seperti Khabiyyah bin Kannaz (penilep bin penimbun).
7. Nama-nama hewan yang terkenal dengan sifat kotor seperti Hanasy
(ular berbisa), Himar (keledai), Qunfudz (landak), Qunaifadz (landak
kecil), Qirdani (kutu binatang), Kalb (anjing), Kulaib (anjing kecil).
8. Nama yang disandangkan kepada lafazh ad dien dan al Islam, seperti
Nuruddin (cahaya agama), Dhiyauddin (sinar agama), Saiful Islam (pedang
Islam), Nurul Islam (cahaya Islam). Sebenarnya Imam Nawawi tidak suka
dirinya diberi laqob (gelar) dengan Muhyiddin (yang menghidupkan agama).
Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga tidak suka diberi gelar
Taqiyyuddin (yang menjaga agama). Beliau berkata, “Akan tetapi
keluargaku menggelariku dengannya kemudian menjadi terkenallah gelar
tersebut.”
9. Nama yang murakkab (tersusun rangkap/lebih dari
satu), seperti Muhammad Ahmad, Muhammad Sa’id. Nama-nama tersebut
mengundang keraguan dan percampuran. Karenanya hal tersebut tidak
dikenal di kalangan salaf, dan merupakan nama orang-orang abad
belakangan. Termasuk pula nama-nama yang disandarkan kepada lafazh Allah
seperti Hasbullah (cukuplah Allah sebagai penolong), Rahmatullah
(rahmat Allah), kecuali nama ‘Abdullah (hamba Allah) karena ia adalah
nama yang paling disukai Allah subhanahu wa ta’ala.
10. Sebagian para ulama ada yang memakruhkan pemberian nama para malaikat seperti Jibril, Mikail, Israfil.
11. Sebagian para ulama ada yang memakruhkan pemberian nama dari
surat-surat Al Qur’anul Karim misalnya Thoha, Yasin, Hamim.
SOLUSI DARI NAMA YANG HARAM ATAU MAKRUH
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Adalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengganti nama yang buruk dengan nama yang baik.” (HR
Tirmidzi 2/137, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash
Shahihah no. 207)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
mengganti nama Hazn (kesedihan) dengan Sahl (mudah), nama Harb (perang)
dengan Salam (damai).
Tampak pula dalam petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bahwa beliau mengganti nama yang tidak baik dengan
nama yang mendekati pengucapannya seperti beliau mengganti nama Syihab
(meteor) menjadi Hisyam (kedermawanan), Jatstsamah (yang banyak
mendekam) menjadi Hassanah (kebaikan).
Demikian pula mengganti
nama ‘Abdun Nabi (hambanya nabi) menjadi ‘Abdul Ghani (hambanya Yang
Maha Kaya), ‘Abdur Rasul (hambanya rasul) menjadi ‘Abdul Ghafur
(hambanya Yang Maha Pengampun), ‘Abdul Husain (hambanya Al Husain)
menjadi ‘Abdurrahman, Hanasy (ular berbisa) menjadi Anas (ramah).
SUNNAH MEMBERI KUN-YAH
Kun-yah adalah nama yang dimulai dengan kata “Abu” (ayah) untuk
laki-laki dan “Ummu” (ibu) untuk perempuan, misalnya Abu Muhammad
(ayahnya Muhammad) dan Ummu Muhammad (ibunya Muhammad). Demikian pula
kun-yah dengan memakai kata “ibnu” (putra) dan “ibnatu” atau “bintu”
(putri), seperti Ibnu ‘Umar dan Bintu ‘Umar.
Memberi kun-yah ini merupakan perkara yang sunnah, namun sayangnya banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin.
Kun-yah dapat pula diberikan kepada anak kecil, sebagaimana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memanggil seorang anak kecil dengan
kun-yahnya bukan dengan namanya, beliau bersabda:
يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ؟
“Wahai Abu ‘Umair, apa yang dilakukan burung kecil itu?” (HR Al Bukhari
6203-Fathul Bari, Muslim 2150-Syarhun Nawawi, Abu Dawud 4969, Tirmidzi
1989, dan selainnya)
Imam Al Bukhari rahimahullah membuat bab
tersendiri tentang masalah ini dan beliau namakan “Bab Memberi Kun-yah
untuk Anak Kecil dan untuk Laki-laki yang Belum Memiliki Anak”.
Pemberian kun-yah itu tidak memutlakkan bahwa yang diberi kun-yah sudah
memiliki anak. Sebagaimana ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu
memiliki kun-yah Abu Hafsh padahal tidak ada di antara putranya yang
bernama Hafsh. Demikian pula Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tidak ada
putranya yang bernama Bakr. Dari kalangan perempuan, telah ma’ruf bahwa
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha memiliki kun-yah Ummu ‘Abdillah padahal
‘Aisyah tidak memiliki seorang anak pun.
NISBAH KEPADA NEGERI KELAHIRAN, PEKERJAAN, KETERKENALAN, MANHAJ SALAF
Para salaf (pendahulu) shalih kaum muslimin ada yang dikenal dengan
nama negeri kelahirannya, pekerjaan, dan hal-hal khusus/unik yang
membuatnya dikenal masyarakat.
Sebagai contoh Muhammad bin
‘Ismail bin Al Mughirah yang kun-yahnya Abu ‘Abdillah, seorang ulama
ahli hadits yang menyusun kitab (hadits) paling shahih setelah Al
Qur’an, lahir di negeri Bukhara, beliau lebih dikenal dengan nama Imam
Al Bukhari.
Sahabat Nabi, Salman radhiyallahu ‘anhu bernisbah Al
Farisi karena berasal dari negeri Persia. Banyak pula nisbah berdasarkan
negerinya seperti Al Bashri karena lahir di kota Bashrah (Iraq), Al
Mishri lahir di Mesir, Al Madani lahir di Madinah, Al Kufi lahir di
Kufah (Iraq), Al Albani lahir di negara Albania, Al Jazairi lahir di
Aljazair.
Ada Abu ‘Utsman, penulis kitab ‘Aqidah As Salaf
Ash-habul Hadits yang bernama asli Isma’il bin ‘Abdurrahman yang hidup
di lingkungan pekerja pembuat sabun, maka beliau dinisbahkan dengan nama
Imam Abu ‘Utsman Ash Shabuni.
Perawi hadits, Sulaiman bin Mihran
diberi laqob (gelar/julukan) dengan Al A’masy (seorang rabun) karena
beliau bermasalah dengan penglihatannya. ‘Abdurrahman bin Hurmuz
dijuluki Al A’raj (seorang yang cacat kakinya) karena memang ada
kekurangan fisik pada kakinya. Pemberian laqob ini diperbolehkan hanya
dalam rangka pengenalan, tetapi diharamkan penyebutan laqob tersebut
jika dalam bentuk pelecehan.
Sedangkan nisbah kepada manhaj yang
selamat seperti bernisbah dengan As Salafi (pengikut salaf), Al Atsari
(pengikut atsar/hadits) merupakan perkara yang terpuji. Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Penisbatan kepada salaf ini
akan memuliakan orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada mereka dan
akan menuntunnya dalam menempuh jalan Al Firqah An Najiyah (golongan
yang selamat).”
Rujukan:
1. Tasmiyatul Maulud karya Syaikh Bakr Abu Zaid, edisi Indonesia: Nama-nama Indah buat Sang Bayi, cetakan V, Penerbit Al Qowam
2. Berhias dengan Nama Syar’i (Syarat, Hukum, dan Adab-adabnya) oleh
Abul Muslim Al Atsari & Zulfa, artikel di Majalah Salafy edisi
XX/1418/1997 Lembar Muslimah hlm. 8-19
3. CD-45 Tasjilat Al Atsariyyah track 01: Biografi Imam Abu ‘Utsman Isma’il bin Abdirrahman Ash Shabuni An Naisaburi
4. Mengapa kita harus menamai diri kita Salafy, artikel di Majalah Salafy edisi perdana/Syaban/1416/1995, hlm. 8-10
Rabu, 04 Maret 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar