Selasa, 03 Maret 2015

Filled Under:
, ,

HUKUM SHOLAT BERJAMAAH BAGI WANITA DALAM ISLAM(ujian praktikum)


Hukum Shalat Berjamaah di Masjid Bagi Wanita (dari berbagai pendapat)

Shalat berjamaah di masjid merupakan perkara yang lazim. Namun sesungguhnya Islam telah mengatur hal-hal khusus bagi wanita. Dan bagaimana Islam menyikapi kondisi saat ini di mana para wanita datang ke masjid dengan bersolek dan membuka auratnya? Simak bahasan berikut.
Sejak zaman nubuwwah, kehadiran wanita untuk shalat berjamaah di masjid bukanlah sesuatu yang asing. Hal ini kita ketahui dari hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Kata beliau:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan shalat ‘Isya hingga ‘Umar berseru memanggil beliau seraya berkata: ‘Telah tertidur para wanita dan anak-anak [1]. Maka keluarlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berkata kepada orang-orang yang hadir di masjid:
“Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini selain kalian.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 566 dan Muslim no. 638)
Aisyah radhiyallahu ‘anha juga berkata:
“Mereka wanita-wanita mukminah menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka seselesainya dari shalat tanpa ada seorang pun yang mengenali mereka karena masih gelap.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 578 dan Muslim no. 645)
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menceritakan: “Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para wanita yang ikut hadir dalam shalat berjamaah, selesai salam segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jamaah laki-laki tetap diam di tempat mereka sekedar waktu yang diinginkan Allah. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit, bangkit pula kaum laki-laki tersebut.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 866, 870)
Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Aku berdiri untuk menunaikan shalat dan tadinya aku berniat untuk memanjangkannya. Namun kemudian aku mendengar tangisan bayi, maka aku pun memendekkan shalatku karena aku tidak suka memberatkan ibunya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 868)
Beberapa hadits di atas cukuplah menunjukkan bagaimana keikutsertaan wanita dalam shalat berjamaah di masjid. Lalu sekarang timbul pertanyaan, apa hukum shalat berjamaah bagi wanita?
Dalam hal ini wanita tidaklah sama dengan laki-laki. Dikarenakan ulama telah sepakat bahwa shalat jamaah tidaklah wajib bagi wanita dan tidak ada perselisihan pendapat di kalangan mereka dalam permasalahan ini.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata (Al-Muhalla, 3/125): “Tidak diwajibkan bagi kaum wanita untuk menghadiri shalat maktubah (shalat fardhu) secara berjamaah. Hal ini merupakan perkara yang tidak diperselisihkan (di kalangan ulama).” Beliau juga berkata: “Adapun kaum wanita, hadirnya mereka dalam shalat berjamaah tidak wajib, hal ini tidaklah diperselisihkan. Dan didapatkan atsar yang shahih bahwa para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di kamar-kamar mereka dan tidak keluar ke masjid.” (Al-Muhalla, 4/196)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyatakan: “Telah berkata teman-teman kami bahwa hukum shalat berjamaah bagi wanita tidaklah fardhu ‘ain tidak pula fardhu kifayah, akan tetapi hanya mustahab (sunnah) saja bagi mereka.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/188)
Ibnu Qudamah rahimahullah juga mengisyaratkan tidak wajibnya shalat jamaah bagi wanita dan beliau menekankan bahwa shalatnya wanita di rumahnya lebih baik dan lebih utama. (Al-Mughni, 2/18)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah bersabda kepada para wanita:
“Shalatnya salah seorang di makhda’-nya (kamar khusus yang digunakan untuk menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di kamarnya. Dan shalatnya di kamar lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Dan shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid kaumnya. Dan shalatnya di masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 155)
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
“Jangan kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari shalat di masjid-masjid-Nya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 990 dan Muslim no. 442)
Dalam riwayat Abu Dawud (no. 480) ada tambahan:
“meskipun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no. 576 dan dalam Al-Misykat no. 1062)
Dalm Nailul Authar, Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata setelah membawakan hadits di atas: “Yakni shalat mereka di rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka daripada shalat mereka di masjid-masjid, seandainya mereka mengetahui yang demikian itu. Akan tetapi mereka tidak mengetahuinya sehingga meminta ijin untuk keluar berjamaah di masjid, dengan keyakinan pahala yang akan mereka peroleh dengan shalat di masjid lebih besar. Shalat mereka di rumah lebih utama karena aman dari fitnah, yang menekankan alasan ini adalah ucapan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika melihat para wanita keluar ke masjid dengan tabarruj dan bersolek.”[2] (Nailul Authar, 3/168)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah setelah menyebutkan hadits: “meskipun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”, menyatakan dalam salah satu fatwanya: “Hadits ini memberi pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata: ‘Aku ingin shalat di masjid agar dapat berjamaah.’ Maka akan aku katakan: ‘Sesungguhnya shalatmu di rumahmu lebih utama dan lebih baik.’ Hal ini dikarenakan seorang wanita akan terjauh dari ikhtilath (bercampur baur tanpa batas) bersama lelaki lain sehingga akan menjauhkannya dari fitnah.” (Majmu’ah Durus Fatawa, 2/274)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda demikian sementara beliau berada di Madinah dan kita tahu shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan dan nilai lebih. Akan tetapi karena shalat wanita di rumahnya lebih tertutup baginya dan lebih jauh dari fitnah maka hal itu lebih utama dan lebih baik.” (Al-Fatawa Al-Makkiyyah, hal. 26-27, sebagaimana dinukil dalam Al-Qaulul Mubin fi Ma’rifati maa Yuhammul Mushallin, hal. 570)
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita akan keutamaan shalat wanita di rumahnya. Setelah ini mungkin timbul pertanyaan di benak kita: Apakah shalat berjamaah yang dilakukan wanita di rumahnya masuk dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Shalat berjamaah dibandingkan shalat sendiri lebih utama dua puluh lima (dalam riwayat lain: dua puluh tujuh derajat)”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 645, 646 dan Muslim no. 649, 650)
Dalam hal ini Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah menegaskan bahwa keutamaan 25 atau 27 derajat yang disebutkan dalam hadits khusus bagi shalat berjamaah di masjid dikarenakan beberapa perkara yang tidak mungkin didapatkan kecuali dengan datang berjamaah di masjid. (Fathul Bari, 2/165-167)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah meriwayatkan akan hal ini dalam sabdanya:
“Shalat seseorang dengan berjamaah dilipat gandakan sebanyak 25 kali lipat bila dibandingkan shalatnya di rumahnya atau di pasar. Hal itu dia peroleh dengan berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia keluar menuju masjid dan tidak ada yang mengeluarkan dia kecuali semata untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkah dengan satu langkah melainkan diangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu kesalahan. Tatkala ia shalat, para malaikat terus menerus mendoakannya selama ia masih berada di tempat shalatnya dengan doa: “Ya Allah, berilah shalawat atasnya. Ya Allah, rahmatilah dia.” Terus menerus salah seorang dari kalian teranggap dalam keadaan shalat selama ia menanti shalat.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 647 dan Muslim no. 649)
Dengan demikian, shalat jamaah wanita di rumahnya tidak termasuk dalam keutamaan 25 atau 27 derajat, akan tetapi mereka yang melakukannya mendapatkan keutamaan tersendiri, yaitu shalat mereka di rumahnya, secara sendiri ataupun berjamaah, lebih utama daripada shalatnya di masjid, wallahu a’lam.
_____________________________
Footnote:
*) Yakni mereka yang ikut hadir untuk shalat berjamaah di masjid. (Syarah Shahih Muslim, 5/137, Fathul Bari, 2/59)
**) Yang dimaksud Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah adalah atsar yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari (no. 869) dan Al-Imam Muslim (no. 445) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat apa yang diperbuat oleh para wanita itu, niscaya beliau akan melarang mereka mendatangi masjid sebagaimana dilarangnya para wanita Bani Israil.” Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Yang diperbuat oleh wanita tersebut adalah (keluar ke masjid dengan) mengenakan perhiasan, wangi-wangian, dan pakaian yang bagus.” (Syarah Shahih Muslim, 4/164)
Sumber: Majalah Asy Syari’ah

Wanita Sholat Jamaah di Masjid

Isi Pesan:
Assalamu’alaikum wrwb.
Saya menikah bulan april yang lalu. Sebelum menikah, saya dan istri insya Allah senantiasa menjaga sholat fardhu berjamaah. Sebagai laki-laki, saya berusaha menjalankan sholat waktu berjamaah di masjid. Sedangkan istri saya terbiasa berjamaah di kost bersama teman satu kost atau kontrakannya.
Setelah menikah dan tinggal berdua dengan istri saya tetap ingin menjalankan sholat jamaah di masjid. Konsekuensinya istri yang biasanya sholat jamaah di rumah terkadang jadi sholat sendirian.
Mohon kiranya ustadz memberikan solusi yang tepat bagi istri saya, bagaimana seharusnya mengambil keputusan. Bagi seorang wanita, manakah yg lebih utama, sholat dirumah atau ikut berjamaah dimasjid?
Jazakallah khairan katsir
NB: kondisi masjid di dekat rumah saya alhamdulillah cukup representatif bagi wanita karena ada hijab/pembatas jamaah pria dan wanita dan tempat wudhu pria dan wanita terpisah.

Jawaban:
Wassalaamu’alaykum warohmatullahi wa barokatuh
Mudah-mudahan Akh Ibnu sekeluarga selalu dalam hidayah Allah dan tetap istiqomah melakukan amalan-amalan yang terbaik.
Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, kami dapat memberikan jawaban sebagai berikut:
1. Anjuran  jamaah secara umum sesuai dengan hadis nabi:

رياض الصالحين (تحقيق الدكتور الفحل) – (2 / 17)
عن ابن عمر رضي الله عنهما : أنَّ رَسُول اللهِ – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : (( صَلاَةُ الْجَمَاعَة أفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً )) متفقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibn Umar r.a., bahwasanya Rasulullah saw bersabda:  “Sholat berjamaah itu adalah lebih utama dua puluhtujuh derajat dibanding sholat sendiri”  (Hadis muttafaqun alaih)
Hadis ini pada hekekatnya berlaku umum,  artinya baik laki-laki maupun perempuan akan memperoleh pahala yang sama apabila melaksanakan shalat berjamaah.
2. Dalam segi syariat pelaksanaannya  para ulama membedakan
    1. Untuk laki-laki yang merdeka,  madzhab Hanafi  dan Maliki menganggap sunnah muakaddah, Madzhab Syafi’i menganggap fardhu kifayah, sedangkan Madzhab Hambali menganggap wajib,  masing-masing dengan dalil yang kuat. Kesimpulannya untuk laki-laki perintah untuk sholat berjamaah di masjid sangat kuat minimal sunnah muakkadah (Al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaili)
    2. Untuk perempuan ada hadis yang berbunyi
صحيح ابن خزيمة – (3 / 92)
عن ابن عمر قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا تمنعوا نساءكم المساجد و بيوتهن خير لهن

Dari Ibnu Umar r.a., bhawasanya Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: “Janganlah kamu larang isteri-isteri mu (pergi shalat ke) masjid, namun (shalat) di rumah mereka lebih baik” (Hadis Shohih Ibnu Khuzaimah)
Berdasarkan hadis tersebut terdapat khilafiyah mengenai hukum boleh tidaknya wanita sholat berjamaah di masjid. Pertama, melarangnya (makruh), seperti ulama muta`akhir Hanafiyah. Ini untuk wanita tua dan muda, dengan alasan zaman telah rusak. Kedua, membolehkannya (khususnya wanita tua), seperti ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, dengan dalil hadis-hadis. (Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/322; Fatawa Al-Azhar, 1/20).
3. Kejadian pada masa Rasulullah:
Sejak zaman Rasulullah, kehadiran wanita dalam shalat berjamaah di masjid bukanlah sesuatu yang asing. Dalam artian, di antara shahabiyah (shahabat Rasulullah dari kalangan wanita) ada yang ikut menghadiri shalat berjamaah di belakang para shahabat walaupun itu tidak wajib bagi mereka.
Ada beberapa dalil dari sunnah yang shahihah yang menunjukkan keikutsertaan wanita dalam shalat berjamaah di masjid. Tiga di antaranya kami sebutkan berikut ini :
a. Hadits dari Aisyah radliyallahu ‘anha, ia berkata :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Isya hingga Umar memanggil beliau (dengan berkata) : “Telah tertidur para wanita dan anak anak.” Maka keluarlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata : “Tidak ada seorang pun selain kalian dari penduduk bumi yang menanti shalat ini.” (HR. Bukhari dalam kitab Mawaqit Ash Shalah 564 dan Muslim kitab Al Masajid 2/282)
Hadis ini mengabarkan kepada kita bahwa para wanita anak-anak telah sholat maghrib berjamaah bersama Rasulullah dan menunggu sholat Isya’, namun karena sholat Isya’ di ta’khirkan mereka tertidur.
Imam Nawawi dalam syarahnya terhadap hadits di atas berkata : “Ucapan Umar (Telah tertidur para wanita dan anak anak) yakni di antara mereka yang menanti didirikannya shalat berjamaah di masjid.
b. Dalam hadits lain, Aisyah radliyallahu ‘anha mengabarkan :
Mereka wanita wanita Mukminah menghadiri shalat shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut dengan kain kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah rumah mereka hingga mereka (selesai) menunaikan shalat tanpa ada seorangpun yang mengenali mereka karena masih gelap.” (HR. Bukhari 578)
c. Hadits dari Abi Qatadah Al Anshari radliyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Sesungguhnya aku berdiri untuk menunaikan shalat dan berkeinginan untuk memanjangkan shalat itu. Lalu aku mendengar tangisan bayi maka akupun memendekkan shalatku karena khawatir (tidak suka)memberatkan ibunya.” (HR. Bukhari 868, Abu Daud 789,

4. Kesimpulan
Anda boleh mengajak isteri anda sholat jamaah dengan dasar:
1)      Mengikuti pendapat yang mengatakan lebih utama sholat di rumah, jika sholatnya sholat jamaah, bukan sholat sendiri. Ini pendapat Ibnu Hazm (Al-Muhalla, 4/197) dan ulama Syafi’iyah seperti Imam Nawawi. (Al-Majmu’, 4/198). Pendapat ini juga didukung oleh keterangan-keterangan dari hadis yang shahih.
2)       Mengikuti kaidah fiqh I’maalu ad-dalilaini aula min ihmaali ahadimaa bi al-kulliyyah (Mengamalkan dua dalil adalah lebih utama daripada meninggalkan satu dalil secara keseluruhan.) (An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 3/492). Bahkan sesungguhnya ada tiga dalil;  pertama:  anjuran jamaah dengan pahala 27 derajat,  kedua: sholat   di rumah lebih baik , tetapi jangan dilarang apabila wanita ingin berjamaah di masjid, ketiga: pada zaman Rasulullah sudah banyak wanita yang berjamaah di masjid. Pendapat yang membolehkan menurut sebagian ulama lebih kuat karena mengamalkan ketiga dalil tersebut, karena kalau melarang atau memakruhkan hanya mengamalkan satu dalil saja yaitu sholat di rumah lebih baik.

Namun kiranya ada beberapa syarat yang harus diikuti:
  1. Wanita shalat jamaah di masjid bersama atau atas ijin suami, kecuali kalau sudah  tua.
  2. Tidak meninggalkan kewajibannya sebagai isteri (misalnya mengasuh anak, menyiapkan  makanan untuk keluarga dll).
  3. Tidak memakai wewangian yang menyebabkan orang tertarik kepadanya.
  4. Tidak tabarruj (menghias diri berlebihan)
  5. Tidak ikhtilat (bercampur antara laki-laki dan perempuan)
  6. Kalau di rumah bisa berjamaah dengan anak, kemenakan atau pembantu itu lebih baik.
Wallahu a’lam
Muhammad Rosyad
Tambahan jawaban dari Ustadzah Siti Hafidah, Lc, MA
Wa alaikum salam wr wb
Akhi fillah…sebelumnya sy ucapkan barokallahu laka wa baroka alaika wa jama’a bainakuma fi khoirin…
mengenai sholat berjama’ah bagi seorang wanita Nabi saw bersabda:
“janganlah kamu melarang para wanita pergi ke masjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Baihaqi dan Thabrani). berdasarkan hadits ini, maka wanita dibolehkan sholat di masjid, dan sholat di rumah adalah lebih baik baginya.
para wanita dibolehkan sholat di masjid dengan syarat:
1. ada izin dari suami.
Nabi saw bersabda: “jika istri-istrimu meminta izin ke masjid-masjid, maka izinkanlah mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Hibban)
2. tidak memakai wangi-wangian.
Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu melarang hamba Allah pergi ke masjid-masjid Allah, tetapi hendaklah mereka keluar tanpa wangi-wangian.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Darimi dan Baihaqi)
Nabi juga bersabda: “perempuan mana saja yang memakai wangi-wangian, kemudian ia pergi ke masjid, maka tidak diterima sholatnya sehingga dia mandi.” (HR. Ibnu Majah)
Mana yang lebih utama bagi wanita, sholat di masjid atau di rumah?
yang lebih utama adalah sholat di rumah, jika di lakukan berjama’ah, sebagaimana sabda Nabi saw: ” Sholat berjama’ah lebih utama daripada sholat sendiri dengan 27 derajat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan jika dilakukan tepat waktu. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, dia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw, amalan apakah yang paling dicintai Allah SWT?, beliau bersabda: Sholat tepat pada waktunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
jika sulit untuk tepat waktu di rumah, maka lebih baik sholat berjamaah di masjid agar tepat waktu.
wallahu a’lam
Saudaraku yang dimuliakan Allah swt…
Para ulama telah bersepakat bahwa shalat seorang laki-laki lebih utama dilakukan berjama’ah di masjid daripada di rumahnya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda,”Shalat berjama’ah itu lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Juga hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa telah datang seorang laki-laki buta menemui Nabi saw dan berkata,”Wahai Rasulullah aku tidak memiliki penuntun yang akan membawaku ke masjid.’ Ia meminta agar Rasulullah saw memberikan rukhshah (keringanan) kepadanya untuk melakukan shalat di rumahnya lalu Nabi saw memberikan rukhshah kepadanya. Namun tatkala orang itu berlalu maka beliau saw memanggilnya dan bertanya kepadanya,’Apakah kamu mendengar suara adzan untuk shalat?’ orang itu berkata,’ya.’ Beliau bersabda,’kalau begitu kamu harus menyambutnya (ke masjid).” (HR. Muslim) –(baca : “Mendengar Adzan Ketika Sedang Sibuk”)
Adapun bagi seorang wanita maka kehadirannya di masjid untuk melakukan shalat berjama’ah diperbolehkan bagi mereka yang sudah tua dan dimakruhkan bagi yang masih muda karena dikhawatirkan adanya fitnah. Untuk itu yang lebih utama baginya adalah melakukan shalat di rumahnya, demikian menurut DR. Wahbah.
Beberapa pendapat para ulama tentang permasalahan ini adalah :
1. Abu Hanifah dan dua orang sahabatnya mengatakan bahwa makruh bagi seorang wanita yang masih muda menghadiri shalat berjama’ah (di masjid) secara mutlak karena dikhawatirkan adanya fitnah. Abu Hanifah mengatakan bahwa tidak mengapa bagi seorang wanita yang sudah tua pergi ke masjid untuk shalat shubuh, maghrib dan isya karena nafsu syahwat bisa menimbulkan fitnah di waktu-waktu selain itu. Orang-orang fasiq tidur pada waktu shubuh dan isya kemudian mereka disibukan dengan makanan pada waktu maghrib. Sedangkan kedua orang sahabatnya membolehkan bagi seorang wanita yang sudah tua pergi ke masjid untuk melakukan semua shalat karena tidak ada fitnah didalamnya dikarenakan kecilnya keinginan (syahwat) seseorang terhadapnya.
Dan madzhab dikalangan para ulama belakangan adalah memakruhkan wanita menghadiri shalat jama’ah walaupun shalat jum’at secara mutlak meskipun ia seorang wanita tua pada malam hari dikarenakan sudah rusaknya zaman dan tampaknya berbagai kefasikan.
2. Para ulama Maliki mengatakan bahwa dibolehkan bagi seorang wanita dengan penuh kesucian dan tidak memikat kaum laki-laki untuk pergi ke masjid melakukan shalat berjama’ah, id, jenazah, istisqo (shalat meminta hujan), kusuf (shalat gerhana) sebagaimana dibolehkan bagi seorang wanita muda yang tidak menimbulkan fitnah pergi ke masjid (shalat berjama’ah) atau shalat jenazah kerabatnya. Adapun apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah maka tidak diperbolehkan baginya untuk pergi ke masjid secara mutlak.
3. Para ulama Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa makruh bagi para wanita yang cantik atau memiliki daya tarik baik ia adalah seorang wanita muda atau tua untuk pergi ke masjid shalat berjama’ah bersama kaum laki-laki karena hal itu merupakan sumber fitnah dan hendaklah ia shalat di rumahnya. Dan dibolehkan bagi para wanita yang tidak menarik untuk pergi ke masjid jika ia tidak mengenakan wangi-wangian dan atas izin suaminya meskipun sesungguhnya rumahnya lebih baik baginya, berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Janganlah engkau melarang para wanita itu pergi ke masjid meskipun rumah mereka lebih baik bagi mereka.” Didalam lafazh lainnya disebutkan,”Apabila para wanita kalian meminta izin kepada kalian pada waktu malam hari untuk ke masjid maka izinkanlah mereka.” (HR. Jama’ah kecuali Ibnu Majah) yaitu jika aman dari kerusakan (fitnah). Juga sabdanya saw,”Janganlah kamu melarang para wanita pergi ke masjid, hendaklah mereka keluar tanpa memakai wangi-wangian.” (HR. Ahmad, Abu daud dari Abu Hurairoh) dan dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Sebaik-baik masjid bagi kaum wanita adalah didalam rumahnya.” (HR. Ahmad)
Intinya adalah bahwa tidak dibolehkan bagi seorang wanita cantik (menarik) untuk pergi ke masjid dan dibolehkan bagi wanita yang sudah tua. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz II hal 1172 – 1173)
Wallahu A’lam

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 chindy sukma.